
Menguat Seharian, Rupiah Finis Jadi Runner-Up Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 December 2018 16:58

Rupiah dan sebagian mata uang utama Asia mampu memanfaatkan tekanan yang dialami dolar AS. Tidak hanya di Asia, mata uang Negeri Paman Sam juga tertekan secara global. Pada pukul 16:28 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,15%.
Investor menantikan rapat bulanan The Federal Reserve/The Fed yang hasilnya akan diumumkan pada 19 Desember waktu setempat atau 20 Desember dini hari waktu Indonesia. Jerome 'Jay' Powell dan kawan-kawan diperkirakan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke 2,25-2,5%. Menurut CME Fedwatch, kemungkinannya adalah 72,3%.
Kalau Federal Funds Rate diperkirakan naik, mengapa dolar AS melemah? Bukankah kenaikan suku bunga adalah jampi-jampi mujarab yang membuat dolar AS menguat sepanjang tahun ini?
Well, kali ini agak berbeda. Seiring hampir berakhirnya 2018, investor mulai meneropong prospek 2019. Sepertinya The Federal Reserve/The Fed tidak akan terlalu agresif pada 2019, tidak seperti tahun ini yang kemungkinan menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali.
Sebab, sepertinya perekonomian AS memang sudah melambat pada 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,9% tahun ini dan melambat menjadi 2,5% tahun depan.
Oleh karena itu, sebenarnya tujuan pengetatan moneter sudah tercapai yaitu mengerem laju ekonomi untuk menghindari overheating. Kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif sudah semakin mengecil. Sehingga dalam jangka menengah-panjang, dolar AS akan lebih sedikit diminati.
Selain itu, ada pula kekhawatiran resesi di perekonomian AS karena imbal hasil (yield) obligasi pemerintah yang bergerak anomali. Pada pukul 16:52 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,6709%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,655% dan 5 tahun yaitu 2,6611%.
Ini disebut inverted yield, tenor jangka pendek lebih besar dari jangka panjang. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta ‘jaminan’ yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Berbagai perkembangan tersebut ini ampuh untuk membuat mata uang Asia, termasuk rupiah, mampu ramai-ramai menguat di hadapan dolar AS. Apabila The Fed 2 hari lagi benar-benar mengeluarkan nada (tone) yang kurang agresif alias dovish, maka dolar AS bisa lebih lemah dari dan rupiah siap kembali menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Investor menantikan rapat bulanan The Federal Reserve/The Fed yang hasilnya akan diumumkan pada 19 Desember waktu setempat atau 20 Desember dini hari waktu Indonesia. Jerome 'Jay' Powell dan kawan-kawan diperkirakan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke 2,25-2,5%. Menurut CME Fedwatch, kemungkinannya adalah 72,3%.
Kalau Federal Funds Rate diperkirakan naik, mengapa dolar AS melemah? Bukankah kenaikan suku bunga adalah jampi-jampi mujarab yang membuat dolar AS menguat sepanjang tahun ini?
Sebab, sepertinya perekonomian AS memang sudah melambat pada 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,9% tahun ini dan melambat menjadi 2,5% tahun depan.
Oleh karena itu, sebenarnya tujuan pengetatan moneter sudah tercapai yaitu mengerem laju ekonomi untuk menghindari overheating. Kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif sudah semakin mengecil. Sehingga dalam jangka menengah-panjang, dolar AS akan lebih sedikit diminati.
Selain itu, ada pula kekhawatiran resesi di perekonomian AS karena imbal hasil (yield) obligasi pemerintah yang bergerak anomali. Pada pukul 16:52 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,6709%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,655% dan 5 tahun yaitu 2,6611%.
Ini disebut inverted yield, tenor jangka pendek lebih besar dari jangka panjang. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta ‘jaminan’ yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Berbagai perkembangan tersebut ini ampuh untuk membuat mata uang Asia, termasuk rupiah, mampu ramai-ramai menguat di hadapan dolar AS. Apabila The Fed 2 hari lagi benar-benar mengeluarkan nada (tone) yang kurang agresif alias dovish, maka dolar AS bisa lebih lemah dari dan rupiah siap kembali menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular