Nah, tetapi yang membuat bingung adalah dolar AS juga sepertinya masih punya pesona pada 2019. Meski hawa
dovish mulai menyelimuti The Fed dan euro bisa menjadi lawan sepadan, tetapi dolar AS bisa tetap menjadi primadona pasar karena ada risiko resesi di perekonomian Negeri Paman Sam.Â
Pertanda resesi itu terlihat di pasar obligasi pemerintah AS. Pada pukul 14:24 WIB, imbal hasil (
yield) untuk tenor 2 tahun ada di 2,7351%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 3 tahun yang sebesar 2,729% dan tenor 5 tahun yaitu 2,7399%.Â
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut
inverted. Terjadinya
inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.Â
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa
yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.Â
Tidak hanya di AS, investor juga mencemaskan risiko perlambatan ekonomi global. IMF memperkirakan ekonomi China tumbuh 6,2% pada 2019, turun dari proyeksi sebelumnya yaitu 6,4%. Â
ECB merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9%, di mana perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.Â
Perkembangan-perkembangan tersebut membuat investor bisa memilih bermain aman. Dolar AS, yang berstatus sebagai aset aman (
safe haven), tentu menjadi salah satu pilihan utama.Â
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Hal yang akan lebih membuat bingung lagi adalah perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). London akan resmi bercerai dengan Brussel pada 29 Maret 2019, tetapi sampai sekarang prosesnya bukannya membaik malah semakin runyam.Â
Alotnya pembahasan membuat Inggris berpotensi menerima
No Deal Brexit alias tidak mendapatkan kompensasi apa pun. Ini tentu sangat merugikan bagi Negeri Ratu Elizabeth.Â
Kajian Bank Sentral Inggris (BoE) menyebutkan bahwa ekonomi Inggris berpotensi terkontraksi alias minus 8% jika
No Deal Brexit terjadi. Lebih parah ketimbang saat krisis keuangan global 10 tahun lalu, yaitu minus 6,25%.Â
Ini tentu menambah hasrat investor untuk mengoleksi dolar AS. Dalam kondisi yang tidak pasti,
cash is king dan mata uang yang dipilih sudah barang tentu
greenback.Â
Belum lagi ada hubungan dagang AS-China. Benar bahwa saat ini Washington-Beijing sedang mesra. Namun damai dagang di antara keduanya belum terjadi.Â
Masih ada risiko relasi AS-China kembali memanas dan perang bea masuk terjadi lagi. Jika dua kekuatan ekonomi terbesar di bumi saling hambat perdagangan, maka arus perdagangan dan rantai pasok (
supply chain) akan terganggu. Hasilnya adalah perekonomian dunia melambat.Â
Well, memang benar kata Sri Mulyani bahwa 2019 tidak akan kalah menantang dari 2018. Lolos dari mulut singa, kita harus bersiap masuk ke mulut buaya.
TIM RISET CNBC INDONESIA