
Sri Mulyani Sebut 2019 Banyak Warning, Apa Saja?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 December 2018 14:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Tinggal sekira 2 pekan lagi, 2018 akan berlalu dan 2019 akan kita jalani. Dari tahun yang menantang, kita akan masuk ke tahun yang bisa jadi tidak kurang mendebarkan.
Awalnya banyak pihak optimistis bahwa 2019 akan menjadi periode keemasan. Namun di tengah jalan, banyak dinamika yang terjadi sehingga optimisme itu mulai tergerus.
Dana Moneter Internasional (IMF) awalnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,9%. Namun kemudian Christine Largarde dan kolega merevisi ke bawah menjadi 3,7%.
"Banyak warning terhadap perekonomian global yang harus diwaspadai," ujar Sri Mulyani Indrawati, hari ini.
Penerawangan terhadap ekonomi 2019 memang agak aneh. Dinamika yang terjadi belakangan ini membuat peta berubah cukup drastis.
Pertama adalah arah kebijakan moneter negara-negara maju, terutama di Amerika Serikat (AS). Awalnya, pelaku pasar memperkirakan The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan setidaknya tiga kali pada 2019. Jerome 'Jay' Powell diramal masih agresif bin hawkish.
Namun akhir-akhir ini semua berubah. Nada (tone) The Fed mulai melunak. Memang masih hawkish, tetapi tidak seperti sebelumnya.
Dalam notulensi rapat (minutes of meeting) edisi November 2018, The Fed menyebut akan semakin hati-hati dalam menentukan arah kebijakan moneter. The Fed berjanji akan lebih menonjolkan kata-kata mengacu kepada data (data dependent).
"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut.
Bahkan Powell menyebut Federal Funds Rate sudah semakin dekat dengan posisi netral. Artinya suku bunga bukan lagi menjadi instrumen untuk mendorong laju perekonomian maupun mengeremnya. Ini bisa diartikan siklus kenaikan suku bunga acuan sudah hampir berakhir.
"Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell beberapa waktu lalu, mengutip Reuters.
Menipisnya peluang agresivitas The Fed berpotensi membuat dolar AS kehilangan taring pada 2019. Padahal tahun ini greenback menjadi raja mata uang dunia, di mana Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 5,71% sejak 1 Januari.
Apalagi dolar AS mungkin akan mendapat lawan, yaitu euro. Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB) Mario Draghi menegaskan bahwa pihaknya belum mengubah rencana untuk mulai menaikkan suku bunga acuan pada musim panas (tengah tahun) 2019.
Artinya, euro akan menjadi lebih menarik di mata investor. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengangkat imbalan investasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Ini akan membuat permintaan euro meningkat dan nilainya menguat.
Dua hal ini bisa membuat dolar AS bergerak melemah pada 2019. Bukan hanya euro, berbagai mata uang lain bisa memanfaatkan ini dengan penguatan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Awalnya banyak pihak optimistis bahwa 2019 akan menjadi periode keemasan. Namun di tengah jalan, banyak dinamika yang terjadi sehingga optimisme itu mulai tergerus.
Dana Moneter Internasional (IMF) awalnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,9%. Namun kemudian Christine Largarde dan kolega merevisi ke bawah menjadi 3,7%.
Penerawangan terhadap ekonomi 2019 memang agak aneh. Dinamika yang terjadi belakangan ini membuat peta berubah cukup drastis.
Pertama adalah arah kebijakan moneter negara-negara maju, terutama di Amerika Serikat (AS). Awalnya, pelaku pasar memperkirakan The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan setidaknya tiga kali pada 2019. Jerome 'Jay' Powell diramal masih agresif bin hawkish.
Namun akhir-akhir ini semua berubah. Nada (tone) The Fed mulai melunak. Memang masih hawkish, tetapi tidak seperti sebelumnya.
Dalam notulensi rapat (minutes of meeting) edisi November 2018, The Fed menyebut akan semakin hati-hati dalam menentukan arah kebijakan moneter. The Fed berjanji akan lebih menonjolkan kata-kata mengacu kepada data (data dependent).
"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut.
Bahkan Powell menyebut Federal Funds Rate sudah semakin dekat dengan posisi netral. Artinya suku bunga bukan lagi menjadi instrumen untuk mendorong laju perekonomian maupun mengeremnya. Ini bisa diartikan siklus kenaikan suku bunga acuan sudah hampir berakhir.
"Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell beberapa waktu lalu, mengutip Reuters.
Menipisnya peluang agresivitas The Fed berpotensi membuat dolar AS kehilangan taring pada 2019. Padahal tahun ini greenback menjadi raja mata uang dunia, di mana Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 5,71% sejak 1 Januari.
Apalagi dolar AS mungkin akan mendapat lawan, yaitu euro. Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB) Mario Draghi menegaskan bahwa pihaknya belum mengubah rencana untuk mulai menaikkan suku bunga acuan pada musim panas (tengah tahun) 2019.
Artinya, euro akan menjadi lebih menarik di mata investor. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengangkat imbalan investasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Ini akan membuat permintaan euro meningkat dan nilainya menguat.
Dua hal ini bisa membuat dolar AS bergerak melemah pada 2019. Bukan hanya euro, berbagai mata uang lain bisa memanfaatkan ini dengan penguatan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Ada Risiko Resesi di AS
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular