
Investor Main Aman, Wall Street Ditutup Variatif
Prima Wirayani, CNBC Indonesia
14 December 2018 06:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks-indeks utama Wall Street kembali bergejolak pada sesi perdagangan hari Kamis (13/12/2018) dan ditutup bervariasi di tengah bayang-bayang perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China serta ancaman resesi di Negeri Paman Sam.
Dow Jones Industrial Average ditutup menguat tipis 0,29% atau 70,11 poin di 24.597,38 setelah bergerak naik dan turun sepanjang sesi perdagangan. S&P 500 melemah 0,02% menjadi 2.650,54 sementara Nasdaq Composite turun 0,39% ke posisi 7.070,33.
Saham-saham sempat menguat di tengah perdagangan di mana Dow Jones naik lebih dari 200 poin di posisi tertingginya hari Kamis. S&P 500 dan Nasdaq sempat bertambah hingga 0,7%, CNBC International melaporkan.
"Sepertinya semua ini menuju arah yang benar," kata JJ Kinahan, chief market strategist di TD Ameritrade. "Namun, pasar akan tetap bergejolak hingga kita mendapatkan jalan keluar dari [perang] bea masuk."
Ia mengatakan sentimen positif perang dagang berkontribusi pada kenaikan indeks yang terjadi di tengah perdagangan.
Hari Rabu, Reuters melaporkan bahwa perusahaan milik negara asal China telah membeli setidaknya 500.000 ton kedelai AS. Ini adalah pembelian kedelai dalam jumlah besar kali pertama yang dilakukan dalam lebih dari enam bulan terakhir.
Di saat yang sama, investor juga mencemaskan ancaman resesi di Negeri Paman Sam.
Survei yang dilakukan American Association of Individual Investors (AAII) menyebutkan bahwa 48,9% investor individu memperkirakan pasar saham akan mengalami tekanan hebat dalam waktu enam bulan ke depan. Angka pesimisme tersebut merupakan yang tertinggi sejak 11 April 2013, dikutip dari Newsletter Tim Riset CNBC Indonesia.
Pada pukul 04:41 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun tercatat 2,762% dan untuk tenor tiga tahun berada di 2,759%, lebih tinggi ketimbang tenor lima tahun yaitu 2,7545%.
Situasi seperti ini disebut inverted yield. Pelaku pasar kerap menjadikan inverted yield (apalagi jika berlangsung dalam waktu lama) sebagai sinyal terjadinya resesi. Ini karena investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, sehingga meminta premi yang lebih tinggi untuk obligasi tenor pendek.
Investor pun tampak cenderung bermain aman. Saham-saham defensif di sektor utilitas, real estat, dan barang konsumsi menjadi incaran utama pelaku pasar.
(prm) Next Article Wall Street Melejit, Sinyal Pasar Saham Kebal Resesi?
Dow Jones Industrial Average ditutup menguat tipis 0,29% atau 70,11 poin di 24.597,38 setelah bergerak naik dan turun sepanjang sesi perdagangan. S&P 500 melemah 0,02% menjadi 2.650,54 sementara Nasdaq Composite turun 0,39% ke posisi 7.070,33.
Saham-saham sempat menguat di tengah perdagangan di mana Dow Jones naik lebih dari 200 poin di posisi tertingginya hari Kamis. S&P 500 dan Nasdaq sempat bertambah hingga 0,7%, CNBC International melaporkan.
Ia mengatakan sentimen positif perang dagang berkontribusi pada kenaikan indeks yang terjadi di tengah perdagangan.
Hari Rabu, Reuters melaporkan bahwa perusahaan milik negara asal China telah membeli setidaknya 500.000 ton kedelai AS. Ini adalah pembelian kedelai dalam jumlah besar kali pertama yang dilakukan dalam lebih dari enam bulan terakhir.
Di saat yang sama, investor juga mencemaskan ancaman resesi di Negeri Paman Sam.
Survei yang dilakukan American Association of Individual Investors (AAII) menyebutkan bahwa 48,9% investor individu memperkirakan pasar saham akan mengalami tekanan hebat dalam waktu enam bulan ke depan. Angka pesimisme tersebut merupakan yang tertinggi sejak 11 April 2013, dikutip dari Newsletter Tim Riset CNBC Indonesia.
Pada pukul 04:41 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun tercatat 2,762% dan untuk tenor tiga tahun berada di 2,759%, lebih tinggi ketimbang tenor lima tahun yaitu 2,7545%.
Situasi seperti ini disebut inverted yield. Pelaku pasar kerap menjadikan inverted yield (apalagi jika berlangsung dalam waktu lama) sebagai sinyal terjadinya resesi. Ini karena investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, sehingga meminta premi yang lebih tinggi untuk obligasi tenor pendek.
Investor pun tampak cenderung bermain aman. Saham-saham defensif di sektor utilitas, real estat, dan barang konsumsi menjadi incaran utama pelaku pasar.
(prm) Next Article Wall Street Melejit, Sinyal Pasar Saham Kebal Resesi?
Most Popular