
Rupiah Kini Terlemah di Asia, Ini Penyebabnya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 December 2018 09:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sejatinya masih dirundung masalah. Namun itu tidak menghentikan penguatan mata uang ini terhadap rupiah.
Pada Selasa (11/12/2018) pukul 09:05 WIB, US$ 1 di pasar spot setara dengan Rp 14.610. Rupiah melemah 0,41% dan menyentuh titik terlemah sejak 15 November.
Padahal dolar AS yang sempat menguat kini berbalik melemah. Pada pukul 09:08 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,11%.
Investor kembali dihantui oleh bayangan risiko resesi di Negeri Paman Sam. Tanda-tanda ke arah sana terlihat dari pasar obligasi pemerintah.
Pada pukul 09:10 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintahan Presiden Donald Trump tenor 2 tahun berada di 2,7251% sementara tenor 3 tahun adalah 2,7293%. Lebih tinggi ketimbang tenor 5 tahun yaitu 2,7058%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted yield. Bagi pelaku pasar, inverted yield (apalagi jika bertahan cukup lama) adalah prediktor bagi terjadinya resesi. Sebab, pelaku pasar menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang.
Selain itu, hawa kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang tidak lagi ketat (hawkish) kian terasa. Memang betul bahwa kemungkinan Jerome 'Jay' Powell cs kemungkinan besar akan menaikkan Federal Funds Rate pada rapat 19 Desember. Namun untuk 2019, sepertinya kenaikan suku bunga acuan tidak akan seagresif perkiraan sebelumnya.
Goldman Sachs memperkirakan The Fed baru akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada Maret 2019. Setelah itu suku bunga diperkirakan naik lagi pada Juni dan bertahan hingga akhir tahun.
Artinya, The Fed hanya menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali pada 2019. Lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali.
"Kami memperkirakan kemungkinan kenaikan suku bunga pada Maret bahkan turun sedikit di bawah 50%. Setelah itu suku bunga akan naik lagi sebesar 25 basis poin pada Juni, yang bertahan sampai akhir tahun," sebut Jan Hatzius, Kepala Ekonom Goldman Sachs, mengutip Reuters.
Pada Selasa (11/12/2018) pukul 09:05 WIB, US$ 1 di pasar spot setara dengan Rp 14.610. Rupiah melemah 0,41% dan menyentuh titik terlemah sejak 15 November.
Padahal dolar AS yang sempat menguat kini berbalik melemah. Pada pukul 09:08 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,11%.
Pada pukul 09:10 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintahan Presiden Donald Trump tenor 2 tahun berada di 2,7251% sementara tenor 3 tahun adalah 2,7293%. Lebih tinggi ketimbang tenor 5 tahun yaitu 2,7058%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted yield. Bagi pelaku pasar, inverted yield (apalagi jika bertahan cukup lama) adalah prediktor bagi terjadinya resesi. Sebab, pelaku pasar menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang.
Selain itu, hawa kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang tidak lagi ketat (hawkish) kian terasa. Memang betul bahwa kemungkinan Jerome 'Jay' Powell cs kemungkinan besar akan menaikkan Federal Funds Rate pada rapat 19 Desember. Namun untuk 2019, sepertinya kenaikan suku bunga acuan tidak akan seagresif perkiraan sebelumnya.
Goldman Sachs memperkirakan The Fed baru akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada Maret 2019. Setelah itu suku bunga diperkirakan naik lagi pada Juni dan bertahan hingga akhir tahun.
Artinya, The Fed hanya menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali pada 2019. Lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali.
"Kami memperkirakan kemungkinan kenaikan suku bunga pada Maret bahkan turun sedikit di bawah 50%. Setelah itu suku bunga akan naik lagi sebesar 25 basis poin pada Juni, yang bertahan sampai akhir tahun," sebut Jan Hatzius, Kepala Ekonom Goldman Sachs, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Mengapa Rupiah Jadi yang Terlemah?
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular