Rupiah Kini Terlemah di Asia, Ini Penyebabnya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 December 2018 09:40
Mengapa Rupiah Jadi yang Terlemah?
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Faktor-faktor itu membuat dolar AS yang sempat di atas angin kini harus kembali terjerembab ke bumi. Bahkan di Asia pun greenback tidak lagi digdaya. 

Pada pukul 09:19 WIB, berikut nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama benua Kuning, mengutip data Refinitiv: 



Namun, rupiah masih saja tidak berdaya di hadapan dolar AS. Bahkan rupiah kini menjadi mata uang terlemah di Asia, menggeser posisi yuan China yang saat ini malah mampu menguat. 


Ada beberapa hal yang membuat langkah rupiah begitu berat. Pertama adalah perkembangan harga minyak. Pada pukul 09:23 WIB, harga minyak jenis brent tercatat naik 0,42% sementara light sweet juga bertambah 0,35%. 

Dalam sebulan terakhir, harga komoditas ini memang masih anjlok sekitar 14%. Namun lebih baik ketimbang posisi sebelumnya yang sempat amblas di kisaran 22%. 

Harapan damai dagang AS-China membuat si emas hitam perlahan mulai bangkit. Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan gencatan senjata sampai 1 Maret 2019. AS tidak akan menaikkan bea masuk bagi impor produk-produk China dari 10% menjadi 25%, sementara China berkomitmen untuk lebih banyak membeli barang dari AS. 

Pelaku pasar berharap damai dagang ini tidak berhenti pada 1 Maret 2019, tetapi berlangsung selamanya. Ini akan membuat perekonomian global kembali bergairah sehingga permintaan energi meningkat. Hasilnya tentu harga minyak perlahan merangkak naik. 

Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak adalah berita buruk. Sebagai negara net importir migas, kenaikan harga minyak akan membuat beban impor kian membengkak. Akibatnya defisit transaksi transaksi berjalan menjadi semakin menganga dan rupiah kehilangan pijakan untuk menguat. 

Faktor kedua adalah data ekonomi terbaru tidak menguntungkan rupiah. Bank Indonesia (BI) merilis penjualan ritel pada Oktober hanya tumbuh 2,9% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4,8% YoY. Penjualan ritel sudah melambat selama 2 bulan beruntun.

Ini bisa diartikan bahwa masih ada masalah dalam konsumsi dan daya beli rumah tangga. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh dalam pembetukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Ketika konsumsi melambat, maka pertumbuhan ekonomi niscaya akan ikut terseret.

Sementara faktor ketiga adalah ambil untung (profit taking) yang masih menghantui rupiah. Meski hari ini melemah, tetapi dalam sebulan terakhir rupiah masih menguat 1,42% di hadapan dolar AS.

Bagi sebagian investor (terutama asing), angka ini sudah cukup menarik untuk mencairkan cuan. Akibatnya rupiah menjadi rawan terkena aksi jual sehingga risiko depresiasi masih tetap membayangi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular