
Dolar AS Sapu Bersih Asia, Rupiah di Posisi Juru Kunci
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 December 2018 10:38

Tidak hanya di Asia, penguatan dolar AS memang sudah mengglobal. Pada pukul 10:12 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,12%.
Sepertinya euforia damai dagang AS-China sudah pudar, dan sekarang yang ada malah keraguan. Investor tidak yakin apakah Washington dan Beijing akan mampu menyelesaikan perbedaan dalam 90 hari. Jika sampai tidak ada kesepakatan dalam 90 hari ke depan, maka dampaknya akan luar biasa.
AS akan menaikkan bea masuk untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah yang tentu sangat berpotensi mendatangkan balasan dari China. Saat ini terjadi, maka api perang dagang kembali bergelora.
Selain itu, investor juga mencemaskan potensi perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam. Hal ini terlihat dari pasar obligasi AS. Pada pukul 10:15 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,7987% sementara tenor 3 tahun di 2,8079%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,7905%.
Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield merupakan indikator bahwa akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang.
Selisih (spread) yield jangka pendek dan jangka panjang juga semakin menyempit. Ini terjadi karena yield obligasi tenor jangka pendek cenderung naik sementara yang jangka panjang malah turun. Jadi ke depan sepertinya tekanan inflasi akan semakin mereda, pertanda ada kelesuan aktivitas ekonomi di AS.
Damai dagang AS-China yang masih samar-samar dan risiko perlambatan ekonomi Negeri Adidaya menjadi alasan pelaku pasar untuk menghindari risiko (risk aversion). Perilaku ini membuat instrumen aman (safe haven) menjadi buruan, sehingga permintaan dolar AS meningkat. Hasilnya adalah dolar AS perkasa terhadap seluruh mata uang Asia, dan rupiah menjadi juru kunci.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Sepertinya euforia damai dagang AS-China sudah pudar, dan sekarang yang ada malah keraguan. Investor tidak yakin apakah Washington dan Beijing akan mampu menyelesaikan perbedaan dalam 90 hari. Jika sampai tidak ada kesepakatan dalam 90 hari ke depan, maka dampaknya akan luar biasa.
AS akan menaikkan bea masuk untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah yang tentu sangat berpotensi mendatangkan balasan dari China. Saat ini terjadi, maka api perang dagang kembali bergelora.
Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield merupakan indikator bahwa akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang.
Selisih (spread) yield jangka pendek dan jangka panjang juga semakin menyempit. Ini terjadi karena yield obligasi tenor jangka pendek cenderung naik sementara yang jangka panjang malah turun. Jadi ke depan sepertinya tekanan inflasi akan semakin mereda, pertanda ada kelesuan aktivitas ekonomi di AS.
Damai dagang AS-China yang masih samar-samar dan risiko perlambatan ekonomi Negeri Adidaya menjadi alasan pelaku pasar untuk menghindari risiko (risk aversion). Perilaku ini membuat instrumen aman (safe haven) menjadi buruan, sehingga permintaan dolar AS meningkat. Hasilnya adalah dolar AS perkasa terhadap seluruh mata uang Asia, dan rupiah menjadi juru kunci.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular