Dolar AS Sapu Bersih Asia, Rupiah di Posisi Juru Kunci

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 December 2018 10:38
Dolar AS Sapu Bersih Asia, Rupiah di Posisi Juru Kunci
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadao dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan kembali melemah. Rupiah juga tidak berdaya di hadapan greenback di perdagangan pasar spot. 

Pada Rabu (5/12/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.383. Rupiah melemah 0,63% dibandingkan posisi hari sebelumnya. 

Kemarin, rupiah melemah 0,29% di kurs acuan. Padahal sebelumnya mata uang Tanah Air mampu menguat dalam 3 hari perdagangan berturut-turut. 


Pelemahan hari ini membuat rupiah terdepresiasi 6,21 terhadap dolar AS di kurs acuan. Sementara selama setahun terakhir, pelemahannya mencapai 6,42%. 

 

Sedangkan di pasar spot, rupiah juga melemah terhadap dolar AS. Pada pukul 10:05 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.380 di mana rupiah melemah 0,67% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 


Tidak hanya rupiah, seluruh mata uang Asia kini terdepresiasi melawan dolar AS. Mulai dari yen Jepang sampai peso Filipina, semuanya tunduk takluk oleh greenback. 

Namun dengan depresiasi 0,67%, rupiah masih menghuni dasar klasemen mata uang Benua Kuning. Di hadapan dolar AS, pelemahan rupiah jadi yang paling dalam. 


Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:07 WIB: 




(BERSAMBUNG KE HALAMAN 2)

Tidak hanya di Asia, penguatan dolar AS memang sudah mengglobal. Pada pukul 10:12 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,12%. 

Sepertinya euforia damai dagang AS-China sudah pudar, dan sekarang yang ada malah keraguan. Investor tidak yakin apakah Washington dan Beijing akan mampu menyelesaikan perbedaan dalam 90 hari. Jika sampai tidak ada kesepakatan dalam 90 hari ke depan, maka dampaknya akan luar biasa. 

AS akan menaikkan bea masuk untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah yang tentu sangat berpotensi mendatangkan balasan dari China. Saat ini terjadi, maka api perang dagang kembali bergelora. 

Selain itu, investor juga mencemaskan potensi perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam. Hal ini terlihat dari pasar obligasi AS. Pada pukul 10:15 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,7987% sementara tenor 3 tahun di 2,8079%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,7905%. 

Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield merupakan indikator bahwa akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang. 

Selisih (spread) yield jangka pendek dan jangka panjang juga semakin menyempit. Ini terjadi karena yield obligasi tenor jangka pendek cenderung naik sementara yang jangka panjang malah turun. Jadi ke depan sepertinya tekanan inflasi akan semakin mereda, pertanda ada kelesuan aktivitas ekonomi di AS. 



Damai dagang AS-China yang masih samar-samar dan risiko perlambatan ekonomi Negeri Adidaya menjadi alasan pelaku pasar untuk menghindari risiko (risk aversion). Perilaku ini membuat instrumen aman (safe haven) menjadi buruan, sehingga permintaan dolar AS meningkat. Hasilnya adalah dolar AS perkasa terhadap seluruh mata uang Asia, dan rupiah menjadi juru kunci. 


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular