Rupiah Belum Bosan Jadi yang Terlemah di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 December 2018 08:28
Rupiah Belum Bosan Jadi yang Terlemah di Asia
Ilustrasi Demonstrasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melanjutkan pelemahan. Investor memang sedang gundah gulana sehingga kembali ke pangkuan aset aman (safe haven) seperti dolar AS. 

Pada Rabu (5/12/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot dibanderol Rp 14.350. Rupiah melemah 0,46% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin terdepresiasi. Pada pukul 08:22 WIB, US$ 1 sudah berada di Rp 14.360 di mana rupiah melemah 0,53%. 

Pelemahan ini melanjutkan depresiasi rupiah yang terjadi kemarin. Rupiah menyelesaikan perdagangan di pasar spot dengan pelemahan 0,35% dan menjadi mata uang terlemah di Asia. 


Pagi ini, tidak seperti kemarin, mayoritas mata uang Asia juga tidak bisa berbicara banyak di hadapan dolar AS. Tercatat hanya yuan China dan peso Filipina yang menguat sementara mata uang lainnya tidak selamat. 

Dengan depresiasi 0,46%, rupiah lagi-lagi menempati posisi juru kunci di klasemen mata uang Benua Kuning. Untuk urusan melemah di hadapan greenback, tidak ada yang sedalam rupiah. 


Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:23 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Memang agak sulit mengimbangi dolar AS karena mata uang ini sedang menguat secara global. Pada pukul 08:12 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,03%. Padahal dalam 2 hari perdagangan terakhir indeks ini selalu di zona merah. 

Investor dibuat resah dan gelisah karena perkembangan di AS. Pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam menunjukkan sesuatu yang mengkhawatirkan. 

Pada pukul 08:13 WIB, imbal hasil (yield) untuk obligasi tenor 2 tahun tercatat 2,7987% dan tenor 3 tahun ini 2,8079%. Lebih tinggi ketimbang tenor 5 tahun yaitu 2,7905%. 

Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield merupakan indikator bahwa akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang. 

Risiko tersebut dicerna oleh pasar sebagai sentimen negatif yang signifikan karena belum pernah terjadi selama 10 tahun terakhir. Melihat hal tersebut, investor pun meninggalkan instrumen berisiko seperti saham dan berpaling ke pelukan dolar AS. 

Belum lagi pelaku pasar juga mulai sangsi terhadap prospek damai dagang AS-China. Memang masih ada waktu sekitar 90 hari bagi Washington dan Beijing untuk menyelesaikan segala perbedaan yang mencuat selama ini. Namun mulai timbul benih-benih pesimisme Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bisa melakukan itu. 

Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam 90 hari, maka AS akan menaikkan tarif bea masuk terhadap importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Jika ini terjadi dan China melancarkan serangan balasan, maka perang dagang resmi berkobar kembali. 

"Kami akan mencoba menyelesaikan (negosiaasi). Namun jika tidak, ingat bahwa saya adalah manusia bea masuk (Tariff Man)!," cuit Trump di Twitter. 

Perkembangan-perkembangan tersebut membuat investor memilih bermain aman dengan memegang safe haven yaitu dolar AS. Apalagi dolar AS juga mendapat suntikan energi dari pernyataan Presiden The Federal Reserve/The Fed New York John Williams. 

"Saat saya berkaca ke belakang dan melihat ekonomi dalam kondisi yang kuat dan memiliki banyak momentum (pertumbuhan), maka kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut pada tahun depan masih masuk akal. Waktu untuk menentukan kapan harus menyesuaikan kebijakan tentu akan kami diskusikan," jelas Williams, dikutip dari Reuters. 

"Kami memperhatikan dengan seksama sisi-sisi yang mengalami perlambatan atau tanda-tanda munculnya risiko. Namun perkiraan saya adalah tetap positif," tambah Williams. 

Pernyataan ini menghapus pandangan bahwa The Fed mulai dovish. Williams seakan menegaskan bahwa posisi (stance) The Fed masih cenderung hawkish, setidaknya sampai tahun depan. Suku bunga acuan masih akan naik secara gradual, dan itu mendukung penguatan dolar AS. 

Oleh karena itu, mata uang Asia (terutama rupiah) harus waspada. Sebab dolar AS sedang punya momentum untuk kembali menguat.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular