Siap-Siap! Sinterklas Kunjungi Wall Street Lebih Awal!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 December 2018 14:56
Siap-Siap! Sinterklas Kunjungi Wall Street Lebih Awal!
Foto: Ekspresi Trader di lantai bursa amerika di New York Stock Exchange (NYSE) di New York City, AS, 12 November 2018. REUTERS / Brendan McDermid
Jakarta, CNBC Indonesia - Bulan Desember telah tiba. Biasanya pada bulan ini, pelaku pasar saham mulai menyebut yang namanya Santa Claus Rally. Sebelum memulai, ada baiknya memahami terlebih dulu apa yang dimaksud dengan Santa Claus Rally.

Melansir Investopedia, Santa Claus Rally merupakan sebuah reli di pasar saham AS yang terjadi pada minggu terakhir bulan Desember hingga 2 hari perdagangan pertama di bulan Januari. Ada beberapa penjelasan di balik fenomena ini seperti optimisme pelaku pasar dan investasi dari bonus musim liburan.

Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa beberapa investor institusi besar yang cenderung lebih pesimis terhadap pasar saham sedang berlibur pada periode ini, sehingga pasar didominasi oleh investor ritel yang cenderung lebih optimistis.

Pada tahun ini, Sinterklas nampak datang lebih cepat. Kontrak futures Dow Jones mengimplikasikan kenaikan sebesar 503 poin pada saat perdagangan dibuka nanti malam, sementara S&P 500 dan Nasdaq diimplikasikan naik masing-masing sebesar 49 dan 167 poin.

Padahal biasanya pada jam-jam seperti ini hingga sore hari, kontrak futures hanya mengimplikasikan pergerakan yang tipis bagi tiga indeks saham utama tersebut. Alasannya, pelaku pasar di AS sedang terlelap dalam tidurnya. Hingga berita ini diturunkan, waktu di New York menunjukkan pukul 02:44.

Suka tak suka, Presiden AS Donald Trump merupakan tokoh yang membawa Sinterklas menghampiri bursa saham AS lebih awal. Pasca melakukan pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 pada akhir pekan lalu, keduanya mencapai kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata dalam sengketa perdagangan selama 90 hari.

Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar. Sedianya, kenaikan bea masuk ini akan mulai berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara itu, China sepakat untuk lebih banyak membeli produk-produk dari AS mulai dari hasil agrikultur, energi, manufaktur, dan sebagainya.

Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat bea masuk bagi produk China ke AS akan naik menjadi 25%.

"Ini adalah kesepakatan yang luar biasa. Apa yang saya lakukan adalah menunda (kenaikan) bea masuk dan China akan membuka diri. China akan membeli banyak produk pertanian dan lainnya. Ini akan memberikan dampak positif yang luar biasa," papar Trump kepada jurnalis di pesawat kepresidenan Air Force One, seperti dikutip dari Reuters.

Tidak hanya AS, China pun ikut 'mengklaim' kesepakatan ini sebagai sebuah kemenangan bagi pihaknya. Wang Yi, Penasihat Negara China, mengatakan perjanjian ini menghindarkan perekonomian global dari dampak friksi kedua negara.

"Kepentingan AS dan China lebih besar ketimbang benturannya. Kerja sama tentu lebih dibutuhkan daripada terus berbenturan," ujar Wang, mengutip Reuters.
Dengan adanya kesepakatan dagang dengan China, laju perekonomian AS lantas bisa dipertahankan untuk tetap berada di level yang relatif tinggi. Sejauh ini, perekonomian AS terlihat sudah terpukul oleh perang dagang yang berkecamuk dengan China.

Pada hari Kamis (29/11/2018), klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 24 November 2018 diumumkan sebanyak 234.000 jiwa, lebih tinggi dari konsensus yang sebesar 221.000 jiwa. Capaian itu menjadi yang tertinggi sejak pertengahan Mei 2018.

Masih pada hari yang sama, Core Personal Comsumption Expenditure (PCE) yang menjadi prefensi The Federal Reserve dalam mengukur inflasi diumumkan sebesar 1,8% YoY untuk periode Oktober 2018, melambat dibandingkan capaian September 2018 yaitu 1,9% YoY. Pencapaian bulan Oktober menjadi yang paling rendah sejak Februari 2018.

Ketika kisruh dagang AS-China tak tereskalasi, pelaku usaha dan konsumen bisa dibuat untuk semakin optimistis, sehingga produksi dan konsumsi bisa dikerek naik. Satu risiko besar yang dihadapi perekonomian AS sudah sirna, setidaknya untuk periode 90 hari. Pada bulan Desember, musim liburan juga berpotensi mengerek saham-saham peritel di Wall Street. Sebelumnya pada bulan November, saham-saham peritel sempat terkerek seiring dengan adanya gelaran Black Friday dan Cyber Monday.

Pada 2 gelaran tersebut, para peritel membanting harga secara besar-besaran guna mendongkrak volume penjualan. Data dari Adobe Analytics menunjukkan bahwa total penjualan pada Cyber Monday 2018 mencapai US$ 7,9 miliar dan mengukir sebuah rekor yang baru, seperti dikutip dari CNBC International. Capaian Cyber Monday tahun ini tumbuh hingga 19,3% dibandingkan capaian tahun 2017.

Amazon yang merupakan salah satu peritel yang ikut ambil bagian mengatakan bahwa perusahaan membukukan penjualan harian terbesar sepanjang sejarahnya pada Cyber Monday tahun ini.

Perusahaan besutan Jeff Bezos itu mengungkapkan sebanyak lebih dari 18 juta mainan dan lebih dari 13 juta barang-barang fashion berhasil dijual dalam gelaran Black Friday dan Cyber Monday.

Hingga penutupan perdagangan hari Jumat (30/11/2018), Amazon merupakan emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar ke-3 di dalam indeks S&P 500, hanya kalah dari Apple dan Microsoft. Kapitalisasi pasar Amazon adalah sebesar US$ 734,46 miliar.

Sepanjang bulan lalu, harga saham Amazon melejit 5,77% dan indeks S&P 500 naik sebesar 1,79%.

Jika harga saham Amazon terkerek naik pada bulan ini, besar kemungkinan Wall Street akan mengikuti. Pada akhirnya, ketika Wall Street terkerek naik, IHSG menjadi memiliki peluang yang besar untuk membukukan penguatan pada bulan ini. Apalagi, sejarah membuktikan bahwa Desember memang merupakan bulan yang ramah bagi pelaku pasar saham tanah air.

Dalam 10 tahun terakhir, tak sekalipun IHSG memberikan imbal hasil negatif secara bulanan pada bulan Desember.

Namun, pelaku pasar tetap harus berhati-hati. Pasalnya, ada satu risiko yang bisa membuat Sinterklas kabur lagi dari Wall Street. Risiko yang dimaksud adalah terkait dengan proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit).

Dalam sidang pada 25 November silam, para pemimpin Uni Eropa sebenarnya sudah menyepakati draf perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May.

May mengatakan dalam kesepakatan tersebut Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. London akan membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha.

Namun, tantangan yang tak kalah besar akan datang kala May membawa proposal tersebut kepada parlemen untuk disetujui. Pemungutan suara kemungkinan akan berlangsung pada 11 Desember, seperti dikutip dari CNBC International.

Jika gagal mendapatkan persetujuan parlemen, bukan tak mungkin May akan dilengserkan dari posisinya atau yang lebih parahnya lagi, Inggris bisa keluar dari Uni Eropa tanpa adanya kesepakatan (no-deal Brexit).

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular