Sentimen Eksternal & Domestik Bawa IHSG Melesat 1,33%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 December 2018 12:45
Sentimen Eksternal & Domestik Bawa IHSG Melesat 1,33%
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 1,02%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri sesi 1 dengan memperlebar penguatannya menjadi 1,33% ke level 6.136,93.

Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 1,37%, indeks Shanghai meroket 2,91%, indeks Hang Seng melesat 2,68%, indeks Strait Times menguat 2,07%, dan indeks Kospi naik 1,66%.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 6,35 triliun dengan volume sebanyak 5,81 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 252.927 kali.

Appetite investor untuk berburu instrumen berisiko seperti saham memang sedang tinggi-tingginya, seiring dengan hasil positif dari pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 pada akhir pekan lalu.

Dalam pertemuan ini, kedua negara mencapai kesepakatan 90 hari gencatan senjata dalam sengketa perdagangan.

Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Sedianya kenaikan tarif ini berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara itu, China sepakat untuk lebih banyak membeli produk Negeri Adidaya mulai dari hasil agrikultur, energi, manufaktur, dan sebagainya.

Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.

"Ini adalah kesepakatan yang luar biasa. Apa yang saya lakukan adalah menunda (kenaikan) bea masuk dan China akan membuka diri. China akan membeli banyak produk pertanian dan lainnya. Ini akan memberikan dampak positif yang luar biasa," papar Trump kepada jurnalis di pesawat kepresidenan Air Force One, seperti dikutip dari Reuters.

Tidak hanya AS, China pun ikut 'mengklaim' kesepakatan ini sebagai sebuah kemenangan bagi pihaknya. Wang Yi, Penasihat Negara China, mengatakan perjanjian ini menghindarkan perekonomian global dari dampak friksi kedua negara.

"Kepentingan AS dan China lebih besar ketimbang benturannya. Kerja sama tentu lebih dibutuhkan daripada terus berbenturan," ujar Wang, mengutip Reuters.
Di pasar valuta asing, rupiah bisa memanfaatkan momentum damai dagang AS-China. Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, rupiah membukukan penguatan sebesar 0,35% ke level Rp 14.250/dolar AS. Pada tengah hari, penguatannya bertambah lebar menjadi 0,52% ke level Rp 14.225/dolar AS.

Penguatan sebesar 0,52% membuat rupiah menjadi mata uang dengan performa terbaik ke-3 di Asia.   Sejauh ini, perekonomian AS dan China terlihat sudah terpukul oleh perang dagang yang selama ini berkecamuk antar keduanya. Pada hari Kamis (29/11/2018), klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 24 November 2018 diumumkan sebanyak 234.000 jiwa, lebih tinggi dari konsensus yang sebesar 221.000 jiwa. Capaian pekan lalu juga menjadi yang tertinggi sejak pertengahan Mei 2018.

Kemudian pada hari Jumat (30/11/2018), Manufacturing PMI periode November 2018 versi resmi pemerintah China diumumkan sebesar 50, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 50,2.

Dengan adanya kesepakatan, diharapkan laju perekonomian kedua negara bisa tetap dipertahankan di level yang relatif tinggi. Ketika ini yang terjadi, maka perekonomian negara-negara lainnya akan ikut merasakan dampak positifnya.

Investor pun menajdi optimistis untuk memburu mata uang di kawasan Asia. Penguatan rupiah membuat investor pasar saham tanah air kian percaya diri untuk melakukan aksi beli.

Di sisi lain, sejatinya damai dagang AS-China juga membuat pelaku pasar kian yakin bahwa The Federal Reserve akan mengerek suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 2 Desember 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps pada bulan ini adalah sebesar 85,2%, lebih tinggi dari posisi akhir November yang sebesar 82,7%.

Ketika perekonomian AS bisa melaju relatif pesat lantaran perang dagang dengan China tak lagi tereskalasi, The Fed tentu menjadi punya alasan untuk mengerek suku bunga acuan. Hal ini seharusnya bisa membuat greenback perkasa.

Namun ya itu tadi, investor lebih merespons damai dagang AS-China dengan menyasar mata uang negara-negara lain seperti di kawasan Asia. Dari dalam negeri, rilis data inflasi membuat IHSG semakin perkasa. Sekitar satu jam menjelang akhir sesi 1, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi bulan November sebesar 0,27% MoM atau 3,23% YoY. Capaian ini mengalahkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yakni 0,19% MoM atau 3,15% YoY.

Sebelum data tersebut dirilis, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperdagangkan di level 6.131,38 atau menguat 1,24% dibandingkan posisi penutupan pada hari Jumat (30/11/2018), sebelum kemudian melesat ke level 6.136,93.

Angka inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi dimaknai sebagai sinyal menggeliatnya konsumsi masyarakat Indonesia.

Pada rilis angka inflasi periode Oktober 2018 tanggal 1 November 2018, IHSG ditutup hanya menguat tipis 0,07%, setelah dibuka menguat 0,4%. Kala itu, tingginya angka inflasi menjadi momok bagi IHSG.

Pada bulan Oktober, BPS mencatat inflasi sebesar 0,28% MoM, lebih tinggi dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 0,17% MoM.

Inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi memberi sinyal bahwa depresiasi rupiah sudah mulai memberikan dampak negatif ke kantong masyarakat Indonesia. Jika masyarakat mengurangi konsumsinya, maka pertumbuhan ekonomi tentu akan tertekan, mengingat konsumsi masyarakat membentuk lebih dari 50% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Pada bulan Oktober, rupiah melemah sebesar 2,01% melawan dolar AS di pasar spot.

Namun pada bulan November, rupiah menguat 5,92% melawan dolar AS. Terlepas dari penguatan rupiah, angka inflasi tetap saja tinggi. Inilah yang melandasi persepsi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah mulai menggeliat.

Merespons hal tersebut, indeks sektor barang konsumsi terkerek hingga 1,19%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar kedua bagi penguatan IHSG setelah sektor jasa keuangan (+2%).

Saham-saham barang konsumsi yang diburu investor diantaranya: PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (+6,23%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+2,72%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (+1,14%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (+0,82%), dan PT Gudang Garam Tbk/GGRM (+0,61%).

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular