Nikmati Akhir Pekan dengan Bahagia, Sebab Rupiah Terbaik Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 November 2018 17:17
Nikmati Akhir Pekan dengan Bahagia, Sebab Rupiah Terbaik Asia
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat di perdagangan pasar spot akhir pekan ini. Rupiah berhasil mencatat penguatan selama 2 hari perdagangan beruntun. 

Pada Jumat (30/11/2018), US$ 1 ditutup Rp 14.300 di perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,56% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.  

Sepanjang hari ini rupiah terus menguat, tidak pernah merasakan dinginnya zona merah. Namun memang ada momentum di mana penguatan rupiah tergerus sampai ke kisaran 0,2%. 


Akan tetapi perlambatan rupiah tidak berlangsung lama. Selepas itu rupiah terus menguat hingga mencapai kisaran 0,8%. 


Seusai tengah hari, rupiah mulai stabil dan tidak banyak mengalami dinamika. Akhirnya rupiah finis di Rp 14.300, terkuat sejak 27 Juni. 

Kemarin, rupiah menguat signifikan yaitu mencapai 1%. Dalam 2 hari terakhir, nilai dolar AS terpangkas dari Rp 14.525 menjadi Rp 14.300 atau Rp 225. Impresif. 

Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat 6,06% di hadapan dolar AS. Namun sejak awal tahun, mata uang Tanah Air masih terdepresiasi 5,42%. 

 

Sore ini, mata uang Asia justru cenderung melemah di hadapan dolar AS. Selain rupiah, mata uang Asia yang selamat adalah dolar Hong Kong, yen Jepang, dan baht Thailand. 

Penguatan 0,56% sudah cukup membuat rupiah menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning. Dalam hal penguatan terhadap greenback, rupiah seng ada lawan. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:20 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS mendapat angin karena pasar harap-harap cemas menantikan KTT G20 di Buenos Aires, Argentina. Sebenarnya yang ditunggu oleh investor adalah pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT tersebut. 

Pelaku pasar berharap ada kesepakatan signifikan antara Washington dan Beijing untuk mengakhiri perang dagang yang berkecamuk sejak awal tahun. Sejauh ini sinyal yang beredar masih mixed, belum ada yag mengarah ke suatu kejelasan. 

Sebelum bertolak ke Argentina, Trump menyatakan AS membuka diri untuk mencapai kesepakatan dengan China. Namun di sisi lain, eks taipan properti itu juga masih ingin menerapkan bea masuk kepada produk-produk Negeri Tirai Bambu.  

"Saya rasa kami sangat dekat untuk mencapai sesuatu dengan China, tetapi saya juga tidak tahu apakah mau melakukannya atau tidak. Sebab, sekarang kita menikmati miliaran dolar dari China atas pengenaan pajak dan bea masuk," tutur Trump kepada jurnalis sebelum bertolak ke Buenos Aires, seperti dikutip Reuters. 

Pernyataan Trump membuat pelaku pasar khawatir, karena jangan-jangan pembicaraan Trump-Xi tidak menuai hasil apapun. Jika ini terjadi, maka perang dagang AS-China masih akan berlangsung dan membuat perekonomian global terluka. 

Perkembangan ini membuat pelaku pasar memilih bermain aman terlebih dulu sembari menantikan kabar terbaru dari Negeri Tango. Sikap bermain aman ini membuat dolar AS masih menjadi pilihan utama. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun, apa yang membuat rupiah tetap kokoh menguat? Setidaknya ada dua penyebab.  

Pertama adalah tren penurunan harga minyak dunia. Dalam sebulan terakhir, harga minyak jenis brent anjlok 21,62%. Dibandingkan dengan posisi awal tahun, harga komoditas ini jatuh 10,62%. 

 

Ada kemungkinan koreksi harga minyak akan bertahan lumayan lama. Sebab minyak sedang dihantui oleh potensi melimpahnya produksi. 

US Energy Information Administration memperkirakan produksi minyak Negeri Paman Sam tahun ini mencapai rata-rata 10,9 juta barel/hari. Naik dibandingkan 2017 yaitu 9,4 juta barel/hari. Produksi minyak AS diramal kembali naik pada 2019 menjadi 12,1 juta barel/hari. 

Sementara Rusia, produsen minyak rakasana lainnya, memperkirakan produksi rata-rata harian tahun ini adalah 551 juta ton (11,02 juta barel/hari). Tahun depan, produksi diperkirakan naik menjadi 555 juta ton (11,1 juta barel/hari). 

Kala produksi meningkat, permintaan malah berisiko turun karena perlambatan ekonomi global. Dana Moneter Internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,7%, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. 

Saat pasokan naik tetapi permintaan turun maka otomatis harga akan terkoreksi. Ini yang membuat harga minyak kemungkinan masih akan dalam tren turun hingga setidaknya tahun depan. 

Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berkah. Jatuhnya harga minyak akan membuat biaya impor migas ikut berkurang. Artinya defisit transaksi berjalan (current account) bisa semakin tipis dan ini sangat berpengaruh positif terhadap kinerja rupiah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Faktor kedua adalah masih derasnya arus modal masuk ke pasar keuangan Indonesia, utamanya ke obligasi pemerintah. Ini ditunjukkan dengan penurunan imbal hasil (yield) yang merupakan pertanda harga obligasi sedang naik akibat tingginya minat pelaku pasar. 

Pada pukul 16:51 WIB, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 5,5 bps. Dalam sebulan terakhir, yield instrumen ini anjlok 76,7 basis poin (bps). 

Investor masuk ke pasar obligasi pemerintah dengan harapan prospek cuan ke depan. Sepertinya Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan stance kebijakan moneter ketat alias hawkish pada 2019. 

Dalam Pertemuan Tahunan BI baru-baru ini, Gubernur Perry Warjiyo menyatakan stance kebijakan moneter untuk tahun depan masih preemtif dan ahead the curve. Dengan tren suku bunga global yang masih tinggi pada 2019, BI yang menganut prinsip tersebut tentu tidak ingin ketinggalan kereta. 

Selain itu, Perry juga menyebutkan bahwa kebijakan moneter masih diarahkan untuk menjaga stabilitas. Sementara urusan mendorong pertumbuhan ekonomi diserahkan kepada kebijakan makroprudensial. 


Artinya, bukan tidak mungkin BI akan melanjutkan siklus kenaikan suku bunga acuan tahun depan. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi di Indonesia, khususnya untuk instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. 

Jadi, ke depan ada prospek imbalan obligasi akan meningkat seiring kenaikan suku bunga acuan. Melihat prospek tersebut, investor (terutama asing) terus masuk dan mengoleksi obligasi pemerintah Indonesia. 

Arus modal ini tentu membuat permintaan rupiah meningkat. Seperti halnya barang, permintaan yang meningkat tentu membuat harga naik. Demikian pula mata uang, jika permintaan bertambah maka nilainya menguat. 

Investor kini boleh mengambil nafas lega. Mari nikmati akhir pekan dengan bahagia, karena rupiah menjadi yang terbaik di Asia!


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular