Bursa Saham Utama Asia Menguat, Kenapa IHSG Malah Melemah?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 November 2018 12:09
Bursa Saham Utama Asia Menguat, Kenapa IHSG Malah Melemah?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali hari dengan melemah sebesar 0,04%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri sesi 1 dengan pelemahan sebesar 0,4% ke level 6.082,84.

IHSG melemah kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia diperdagangkan menguat: indeks Nikkei naik 0,37%, indeks Shanghai naik 0,23%, indeks Hang Seng naik 0,69%, dan indeks Strait Times naik 0,53%.

Sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve edisi November 2018. Dalam rapat tersebut, ada aura dovish yang muncul. Para peserta rapat semakin menggarisbawahi bahwa ada risiko yang menghantui perekonomian AS. "Ada pertanda perlambatan di sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga," sebut notulensi itu.

Kemudian, para peserta rapat juga menekankan pentingnya berkaca kepada data (data dependent) dalam pengambilan keputusan.

"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut.

Pernyataan tersebut diartikan sebagai sinyal bahwa The Fed mungkin akan mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan. Sebagai informasi, The Fed memproyeksikan akan ada sekali lagi kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini, yakni pada bulan Desember. Untuk tahun depan, normalisasi diproyeksikan sebanyak 3 kali.

Kala perang dagang dengan China masih berkecamuk, normalisasi yang tak kelewat agresif memang merupakan pilihan terbaik bagi perekonomian AS dan dunia.
Rupiah berhasil memanfaatkan momentum yang datang dari aura dovish pada pertemuan The Fed edisi November 2018. Dengan adanya harapan bahwa The Fed tak akan kelewat agresif dalam melakukan normalisasi, praktis pelaku pasar melepas dolar AS dan beralih ke pelukan mata uang Garuda. Apalagi, Bank Indonesia (BI) sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan ini.

Hingga akhir sesi 1, rupiah menguat 0,56% di pasar spot ke level Rp 14.300/dolar AS. Penguatan rupiah sejatinya bisa dimanfaatkan investor untuk kembali mengoleksi saham-saham bank BUKU IV.

Pada perdagangan kemarin (29/11/2018), penguatan rupiah membuat saham-saham bank BUKU IV menjadi primadona bagi investor: PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) naik 3,38%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) naik 2,95%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) naik 2,63%, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) naik 1,64%.

Sayang, penguatan yang sudah cukup signifikan membuat investor tergiur untuk melakukan ambil untung. Apalagi, saham-saham bank BUKU IV sudah membukukan penguatan yang signifikan sejak akhir bulan lalu.

Per akhir sesi 1, BMRI turun 1,31%, BBCA turun 0,86%, BBNI turun 2,56%, dan BBRI turun 1,62%.

Seiring dengan aksi ambil untung atas saham-saham bank BUKU IV, indeks sektor jasa keuangan melemah hingga 1,12%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG.

Investor asing terpantau cukup gencar melakukan aksi ambil untung atas saham-saham bank BUKU IV. Saham BBNI dijual bersih investor asing senilai Rp 102,6 miliar, BBRI dilepas Rp 78,3 miliar, dan BMRI dilepas Rp 16,2 miliar.

Di seluruh pasar, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 221,5 miliar. Selain karena penguatan yang sudah signifikan, ada hal lain yang menjustifikasi aksi ambil untung investor atas saham-saham bank BUKU IV, yakni pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 yang akan berlangsung mulai hari ini di Buenos Aires.

Menjelang pertemuan tersebut, perkembangan yang ada sukses menjadi motor utama pasar keuangan dunia. Trump sempat mengatakan bahwa dirinya sudah bersiap-siap untuk mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk asal China senilai US$ 267 jika pertemuan dengan Xi tak membuahkan kesepakatan, seperti dikutip dari Bloomberg yang melansir publikasi Wall Street Journal. Menurut Trump, besaran bea masuknya bisa 10% atau 25%.

Namun kemudian, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow membuat pernyataan yang menenangkan pelaku pasar. Kudlow menyatakan bahwa ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan kala kedua pimpinan negara bertemu.

"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Kudlow, mengutip Reuters.

Komentar Kudlow lantas menebar optimisme bahwa peluang tercapainya kesepakatan dagang masih ada.

Namun, perkembangan teranyar membuat optimisme investor memudar. Berbicara di hadapan reporter sebelum meninggalkan Gedung Putih untuk terbang ke Argentina, Trump mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China sudah dekat namun dirinya tak yakin menginginkan hal tersebut terjadi.

“Saya rasa kami sangat dekat untuk melakukan sesuatu (kesepakatan) dengan China tetapi saya tidak tahu apakah saya ingin melakukannya,” papar Trump pada hari Kamis (29/11/2018).

“Karena apa yang kita nikmati sekarang adalah miliaran dolar mengalir ke AS dalam bentuk tarif dan pajak,” dirinya menambahkan lebih lanjut.

Hingga berita ini diturunkan, waktu di Buenos Aires menunjukkan pukul 02:02 (30/11/2018). Ini artinya, pertemuan antara Trump dengan Xi tidak akan terjadi hingga penutupan perdagangan bursa saham Asia. Sebab, pertemuan tersebut dijadwalkan pada hari Sabtu (1/12/2018) waktu setempat.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular