
Walau Menguat 1%, Rupiah Bukan Lagi Raja Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 November 2018 16:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berakhir dengan penguatan signifikan di perdagangan pasar spot hari ini. Namun rupiah lengser dari posisi puncak klasemen mata uang Asia.
Pada Kamis (29/11/2018), US$ 1 berada di Rp 14.380 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 1% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Mata uang Tanah Air mencapai posisi terkuatnya sejak 17 Juli. Sementara penguatan 1% merupakan apresiasi harian terbaik sejak 7 November.
Hari ini performa rupiah cukup impresif. Dibuka menguat 0,45%, apresiasi rupiah terus bertambah hingga mencapai puncaknya di 1,31%.
Namun selepas tengah hari, rupiah agak mengendur. Penguatan rupiah sedikit berkurang meski masih dalam kisaran 1%.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Sepanjang hari ini rupiah menjadi mata uang dengan penguatan terbaik di Asia. Akan tetapi, apresiasi rupiah yang mengendur membuat rupiah kehilangan gelar tersebut.
Kini status sebagai raja Asia disandang oleh rupee India. Rupiah harus puas duduk di posisi kedua.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:11 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Mayoritas mata uang Asia yang menguat menandakan dolar AS sedang tertekan hebat. Greenback sedang diterpa pelepasan massal karena pernyataan Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed.
Powell menyatakan suku bunga acuan di AS sudah mendekati level netral, yang artinya tidak lagi bisa digunakan untuk meredam atau mempercepat pertumbuhan ekonomi. "Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell, mengutip Reuters.
Pelaku pasar membaca Powell mulai sedikit dovish. Bukan tidak mungkin The Fed mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan karena dirasa sudah hampir cukup.
Pernyataan Powell adalah musibah, karena selama ini kekuatan dolar AS lahir dari tren kenaikan suku bunga acuan. Saat suku bunga naik, maka ekspektasi inflasi akan terjangkar sehingga nilai mata uang tidak tergerus.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan juga ikut mengerek imbalan investasi khususnya di instrumen berpendapatan tetap (fixed income) sehingga semakin menarik. Dilandasi pencarian cuan di pasar fixed income, permintaan dolar AS pun meningkat.
Dengan stance Powell yang tidak lagi hawkish, harapan itu sedikit memudar. Dolar AS kehilangan karisma dan mengalami tekanan jual.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Ditambah lagi hawa damai dagang AS-China kini semakin terasa. Rencananya Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan berdialog di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir bulan ini.
Harapan keduanya akan mencapai kesepakatan semakin besar. Presiden Xi menyatakan China siap untuk lebih membuka diri terhadap perekonomian global, sesuatu yang dituntut oleh Trump.
"China akan terus berupaya untuk membuka diri, bahkan lebih dari apa yang dilakukan sekarang. China akan membuka akses kepada pasar, investasi, dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual," tegas Xi di depan parlemen Negeri Tirai Bambu, dikutip dari Reuters.
Jika Beijing berhasil meyakinkan Washington soal keterbukaan ekonomi ini, maka bukan tidak mungkin pertemuan di Buenos Aires akan menelurkan hasil yang signifikan. Bahkan pelaku pasar berharap perang dagang AS-China yang berkobar sejak awal tahun bakal berganti menjadi damai dagang.
Sentimen eksternal yang begitu positif ini membuat pelaku pasar menyerbu negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Di pasar saham, investor asing mencatat beli bersih Rp 690,9 miliar yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 1,93%.
Sedangkan di pasar obligasi, masuknya arus modal ditandai dengan penurunan imbal hasil (yield). Koreksi yield berarti harga obligasi sedang naik karena tingginya minat pelaku pasar.
Yield obligasi pemerintah tenor 1 tahun turun 4,4 basis poin (bps). Kemudian tenor 3 tahun turun 2,3 bps, tenor 5 tahun turun 2,1 bps, tenor 20 tahun turun 5,7 bps, dan tenor 30 tahun turun 1,5 bps.
Ya, walau rupiah harus kehilangan posisi puncak klasemen mata uang Asia tetapi patut mendapat apresiasi. Rupiah yang mampu menguat 1% dan memutus mata rantai pelemahan dalam 2 hari beruntun adalah sesuatu yang layak disyukuri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Kamis (29/11/2018), US$ 1 berada di Rp 14.380 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 1% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Mata uang Tanah Air mencapai posisi terkuatnya sejak 17 Juli. Sementara penguatan 1% merupakan apresiasi harian terbaik sejak 7 November.
Hari ini performa rupiah cukup impresif. Dibuka menguat 0,45%, apresiasi rupiah terus bertambah hingga mencapai puncaknya di 1,31%.
Namun selepas tengah hari, rupiah agak mengendur. Penguatan rupiah sedikit berkurang meski masih dalam kisaran 1%.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Sepanjang hari ini rupiah menjadi mata uang dengan penguatan terbaik di Asia. Akan tetapi, apresiasi rupiah yang mengendur membuat rupiah kehilangan gelar tersebut.
Kini status sebagai raja Asia disandang oleh rupee India. Rupiah harus puas duduk di posisi kedua.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:11 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Powell menyatakan suku bunga acuan di AS sudah mendekati level netral, yang artinya tidak lagi bisa digunakan untuk meredam atau mempercepat pertumbuhan ekonomi. "Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell, mengutip Reuters.
Pelaku pasar membaca Powell mulai sedikit dovish. Bukan tidak mungkin The Fed mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan karena dirasa sudah hampir cukup.
Pernyataan Powell adalah musibah, karena selama ini kekuatan dolar AS lahir dari tren kenaikan suku bunga acuan. Saat suku bunga naik, maka ekspektasi inflasi akan terjangkar sehingga nilai mata uang tidak tergerus.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan juga ikut mengerek imbalan investasi khususnya di instrumen berpendapatan tetap (fixed income) sehingga semakin menarik. Dilandasi pencarian cuan di pasar fixed income, permintaan dolar AS pun meningkat.
Dengan stance Powell yang tidak lagi hawkish, harapan itu sedikit memudar. Dolar AS kehilangan karisma dan mengalami tekanan jual.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Ditambah lagi hawa damai dagang AS-China kini semakin terasa. Rencananya Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan berdialog di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir bulan ini.
Harapan keduanya akan mencapai kesepakatan semakin besar. Presiden Xi menyatakan China siap untuk lebih membuka diri terhadap perekonomian global, sesuatu yang dituntut oleh Trump.
"China akan terus berupaya untuk membuka diri, bahkan lebih dari apa yang dilakukan sekarang. China akan membuka akses kepada pasar, investasi, dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual," tegas Xi di depan parlemen Negeri Tirai Bambu, dikutip dari Reuters.
Jika Beijing berhasil meyakinkan Washington soal keterbukaan ekonomi ini, maka bukan tidak mungkin pertemuan di Buenos Aires akan menelurkan hasil yang signifikan. Bahkan pelaku pasar berharap perang dagang AS-China yang berkobar sejak awal tahun bakal berganti menjadi damai dagang.
Sentimen eksternal yang begitu positif ini membuat pelaku pasar menyerbu negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Di pasar saham, investor asing mencatat beli bersih Rp 690,9 miliar yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 1,93%.
Sedangkan di pasar obligasi, masuknya arus modal ditandai dengan penurunan imbal hasil (yield). Koreksi yield berarti harga obligasi sedang naik karena tingginya minat pelaku pasar.
Yield obligasi pemerintah tenor 1 tahun turun 4,4 basis poin (bps). Kemudian tenor 3 tahun turun 2,3 bps, tenor 5 tahun turun 2,1 bps, tenor 20 tahun turun 5,7 bps, dan tenor 30 tahun turun 1,5 bps.
Ya, walau rupiah harus kehilangan posisi puncak klasemen mata uang Asia tetapi patut mendapat apresiasi. Rupiah yang mampu menguat 1% dan memutus mata rantai pelemahan dalam 2 hari beruntun adalah sesuatu yang layak disyukuri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular