
Perang Dagang Tak Jelas, Bursa Asia Terkapar di Zona Merah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 November 2018 17:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia mengakhiri perdagangan hari ini di zona merah: indeks Shanghai turun 0,04%, indeks Hang Seng turun 0,17%, dan indeks Straits Times turun 0,1%.
Panasnya perang dagang AS-China sukses membuat bursa saham Benua Kuning melemah. Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa dirinya kemungkinan akan mengeksekusi rencana untuk menaikkan bea masuk bagi importasi produk asal China senilai US$ 200 miliar.
Sebelumnya, barang-barang senilai US$ 200 miliar ini telah dibebankan bea masuk senilai 10% yang berlaku mulai bulan September. Pemerintahan Trump memang sudah mengatakan bahwa bea masuk akan naik menjadi 25% pada 1 Januari 2019.
Trump juga menyatakan bahwa dirinya sudah bersiap-siap untuk mengenakan bea masuk baru bagi US$ 267 miliar produk China lainnya jika pertemuan dengan Presiden China Xi Jingping di sela-sela KTT G-20 pada akhir bulan ini tak membuahkan kesepakatan, seperti dikutip dari Bloomberg News yang melansir publikasi Wall Street Journal. Menurut Trump, besaran bea masuknya bisa 10% atau 25%.
Celakanya, di saat yang bersamaan pelaku pasar dibuat kian yakin bahwa The Federal Reserve akan mengerek suku bunga acuan pada penghujung tahun.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 26 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps pada bulan Desember adalah sebesar 79,2%, lebih tinggi dari posisi 23 November yang sebesar 75,8%.
Mencuatnya persepsi tersebut datang seiring dengan kuatnya proyeksi penjualan pada momen Black Friday dan Cyber Monday. Menurut US National Retail Federation, Black Friday tahun ini diperkirakan menghasilkan transaksi lebih dari US$ 6 miliar, naik 23% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara untuk total musim belanja November-Desember tahun ini diperkirakan mampu meraup transaksi US$ 720,89 miliar.
Kemudian menurut lembaga riset Planalytics, akan ada 75 juta pelanggan yang akan berbelanja dalam Cyber Monday. Nilai transaksi diperkirakan mencapai US$ 7,8 miliar.
Mengingat konsumsi menyumbang lebih dari setengah perekonomian AS, pertumbuhan ekonomi di Negeri Paman Sam nampaknya masih akan cukup baik pada kuartal-IV 2018, sehingga The Fed perlu mengerek suku bunga acuannya.
Di satu sisi, kenaikan suku bunga acuan memang mengonfirmasi pesatnya laju perekonomian AS. Namun di sisi lain, hal ini bisa secara signifikan memukul perekonomian AS jika dibarengi perang dagang yang tak kunjung usai.
Ketika perekonomian AS dipukul mundur, perekonomian dunia akan merasakan dampaknya.
Rilis data ekonomi di China ikut memperkeruh suasana. Pada pagi ini, laba dari perusahaan-perusahaan industri di China diumumkan tumbuh sebesar 13,6% YoY selama 10 bulan pertama tahun ini, turun dari capaian hingga September 2018 yang sebesar 14,7% YoY.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article Rayakan Imlek, Bursa Jepang & Australia Ditutup Ijo Royo-Royo
Panasnya perang dagang AS-China sukses membuat bursa saham Benua Kuning melemah. Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa dirinya kemungkinan akan mengeksekusi rencana untuk menaikkan bea masuk bagi importasi produk asal China senilai US$ 200 miliar.
Sebelumnya, barang-barang senilai US$ 200 miliar ini telah dibebankan bea masuk senilai 10% yang berlaku mulai bulan September. Pemerintahan Trump memang sudah mengatakan bahwa bea masuk akan naik menjadi 25% pada 1 Januari 2019.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 26 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps pada bulan Desember adalah sebesar 79,2%, lebih tinggi dari posisi 23 November yang sebesar 75,8%.
Mencuatnya persepsi tersebut datang seiring dengan kuatnya proyeksi penjualan pada momen Black Friday dan Cyber Monday. Menurut US National Retail Federation, Black Friday tahun ini diperkirakan menghasilkan transaksi lebih dari US$ 6 miliar, naik 23% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara untuk total musim belanja November-Desember tahun ini diperkirakan mampu meraup transaksi US$ 720,89 miliar.
Kemudian menurut lembaga riset Planalytics, akan ada 75 juta pelanggan yang akan berbelanja dalam Cyber Monday. Nilai transaksi diperkirakan mencapai US$ 7,8 miliar.
Mengingat konsumsi menyumbang lebih dari setengah perekonomian AS, pertumbuhan ekonomi di Negeri Paman Sam nampaknya masih akan cukup baik pada kuartal-IV 2018, sehingga The Fed perlu mengerek suku bunga acuannya.
Di satu sisi, kenaikan suku bunga acuan memang mengonfirmasi pesatnya laju perekonomian AS. Namun di sisi lain, hal ini bisa secara signifikan memukul perekonomian AS jika dibarengi perang dagang yang tak kunjung usai.
Ketika perekonomian AS dipukul mundur, perekonomian dunia akan merasakan dampaknya.
Rilis data ekonomi di China ikut memperkeruh suasana. Pada pagi ini, laba dari perusahaan-perusahaan industri di China diumumkan tumbuh sebesar 13,6% YoY selama 10 bulan pertama tahun ini, turun dari capaian hingga September 2018 yang sebesar 14,7% YoY.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article Rayakan Imlek, Bursa Jepang & Australia Ditutup Ijo Royo-Royo
Most Popular