
Harga Batu Bara Betah di Rekor Terendah Dalam 6 Bulan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
21 November 2018 12:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle turun 0,63% ke US$ 102,3/ Metrik Ton (MT) pada penutupan perdagangan hari Selasa (20/11/2018). Dengan pergerakan itu, harga batu bara masih betah di level terendahnya dalam 6 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Mei 2018.
Sejumlah sentimen negatif memang masih mengeroyok harga komoditas ini. Dari mulai tingkat konsumsi China yang lemah, persepsi perlambatan ekonomi global, hingga pemangkasan impor China. Tim Riset CNBC Indonesia akan mengelaborasikan sejumlah sentimen itu satu per satu.
Pertama, meski sudah memasuki musim dingin, tingkat konsumsi batu bara masih cukup lemah di China. Mengutip China Coal Transport & Distribution, konsumsi batu bara di China bagian tengah dan selatan masih cukup lambat.
Hal ini dipertegas dengan stok batu bara yang memang masih berada di level yang tinggi. Menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China meningkat dalam 5 pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 0,59% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,06 juta ton.
Dengan tingginya tingkat stok batu bara tersebut, lantas investor mengekspektasikan bahwa permintaan impor batu bara Beijing masih akan lesu. Istilahnya, kebutuhan batu bara di China masih akan tercukupi oleh melimpahnya stok saat ini.
Lemahnya konsumsi di Negeri Tirai Bambu juga nampaknya tidak lepas dari musim dingin yang memang lebih hangat dari biasanya. Sebelumnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang saat ini melanda dataran China akan lebih hangat dari biasanya. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino.
Saat musim dingin ternyata tidak seekstrim yang diperkirakan, kebutuhan listrik untuk pemanas ruangan pun akan lemah. Alhasil, konsumsi batu bara di pembangkt listrik pun tidak akan sekencang yang diperkirakan sebelumnya.
Kedua, pemerintah China memutuskan untuk membatasi impor batu bara di sepanjang tahun 2018. Mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters, impor batu bara di tahun ini ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017, dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini.
Dengan pembatasan itu, volume impor batu bara China di November-Desember 2018 diramal turun sebesar 25-35 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Harga batu bara pun tak bisa lepas dari koreksi lebih lanjut.
Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global. Dinamika permintaan impor China akan sangat memengaruhi pergerakan harga batu bara dunia.
Ketiga, perang dagang mulai melemahkan ekonomi China dan sekitarnya. Pekan lalu, bank AS Morgan Stanley menyatakan bahwa "kondisi ekonomi China memburuk secara material" pada kuartal III-2018.
Kemudian, pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal-III 2018 diumumkan sebesar -1,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih buruk dari estimasi pelaku pasar yakni minus 1% saja. Kontraksi ini disebabkan oleh ekspor yang turun 1,8%, penurunan terdalam dalam lebih dari 3 tahun terakhir. Sementara investasi terkontraksi 0,2%, pertama kali dalam 2 tahun.
Persepsi perlambatan ekonomi dunia lantas menjadi indikasi bahwa permintaan komoditas global juga akan menurun. Hal ini lantas menekan harga batu bara lebih jauh.
Terlebih, bursa saham Wall Street juga anjlok untuk dua hari berturut-turut sejak awal pekan lalu. Teranyar, kemarin indeks Dow Jones anjlok lebih dalam yaitu 2,21%. Sementara S&P 500 amblas 1,81%, dan Nasdaq jatuh 1,75%.
Senada dengan bursa saham New York, kemarin bursa utama Asia juga "kebakaran". Indeks Nikkei melemah 1,09%, Hang Seng turun 2,02%, Shanghai anjlok 2,13%, dan Kospi minus 0,86%.
Aksi jual besar-besaran (sell off) di bursa saham global jelas menjadi indikasi bahwa kepercayaan diri investor terhadap ekonomi global masih berada di titik yang rendah. Hal ini lantas memperkuat persepsi bawah permintaan komoditas energi (termasuk batu bara) memang masih akan tertekan.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Sejumlah sentimen negatif memang masih mengeroyok harga komoditas ini. Dari mulai tingkat konsumsi China yang lemah, persepsi perlambatan ekonomi global, hingga pemangkasan impor China. Tim Riset CNBC Indonesia akan mengelaborasikan sejumlah sentimen itu satu per satu.
Hal ini dipertegas dengan stok batu bara yang memang masih berada di level yang tinggi. Menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China meningkat dalam 5 pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 0,59% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,06 juta ton.
Dengan tingginya tingkat stok batu bara tersebut, lantas investor mengekspektasikan bahwa permintaan impor batu bara Beijing masih akan lesu. Istilahnya, kebutuhan batu bara di China masih akan tercukupi oleh melimpahnya stok saat ini.
Lemahnya konsumsi di Negeri Tirai Bambu juga nampaknya tidak lepas dari musim dingin yang memang lebih hangat dari biasanya. Sebelumnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang saat ini melanda dataran China akan lebih hangat dari biasanya. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino.
Saat musim dingin ternyata tidak seekstrim yang diperkirakan, kebutuhan listrik untuk pemanas ruangan pun akan lemah. Alhasil, konsumsi batu bara di pembangkt listrik pun tidak akan sekencang yang diperkirakan sebelumnya.
Kedua, pemerintah China memutuskan untuk membatasi impor batu bara di sepanjang tahun 2018. Mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters, impor batu bara di tahun ini ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017, dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini.
Dengan pembatasan itu, volume impor batu bara China di November-Desember 2018 diramal turun sebesar 25-35 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Harga batu bara pun tak bisa lepas dari koreksi lebih lanjut.
Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global. Dinamika permintaan impor China akan sangat memengaruhi pergerakan harga batu bara dunia.
Ketiga, perang dagang mulai melemahkan ekonomi China dan sekitarnya. Pekan lalu, bank AS Morgan Stanley menyatakan bahwa "kondisi ekonomi China memburuk secara material" pada kuartal III-2018.
Kemudian, pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal-III 2018 diumumkan sebesar -1,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih buruk dari estimasi pelaku pasar yakni minus 1% saja. Kontraksi ini disebabkan oleh ekspor yang turun 1,8%, penurunan terdalam dalam lebih dari 3 tahun terakhir. Sementara investasi terkontraksi 0,2%, pertama kali dalam 2 tahun.
Persepsi perlambatan ekonomi dunia lantas menjadi indikasi bahwa permintaan komoditas global juga akan menurun. Hal ini lantas menekan harga batu bara lebih jauh.
Terlebih, bursa saham Wall Street juga anjlok untuk dua hari berturut-turut sejak awal pekan lalu. Teranyar, kemarin indeks Dow Jones anjlok lebih dalam yaitu 2,21%. Sementara S&P 500 amblas 1,81%, dan Nasdaq jatuh 1,75%.
Senada dengan bursa saham New York, kemarin bursa utama Asia juga "kebakaran". Indeks Nikkei melemah 1,09%, Hang Seng turun 2,02%, Shanghai anjlok 2,13%, dan Kospi minus 0,86%.
Aksi jual besar-besaran (sell off) di bursa saham global jelas menjadi indikasi bahwa kepercayaan diri investor terhadap ekonomi global masih berada di titik yang rendah. Hal ini lantas memperkuat persepsi bawah permintaan komoditas energi (termasuk batu bara) memang masih akan tertekan.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular