Ini Faktor yang Buat IHSG Lengser Keprabon dari 6.000

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 November 2018 11:30
Ini Faktor yang Buat IHSG Lengser Keprabon dari 6.000
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan di bursa saham dalam negeri berlangsung tidak mudah pada hari ini. Mengawali hari dengan penguatan sebesar 0,27%, IHSG kemudian sempat turun tipis 0,03% ke level 6.010,27 sebelum kemudian kembali ke zona hijau.

Namun kini, IHSG justru sudah meninggalkan level psikologis 6.000. Pada pukul 11:07 WIB, IHSG melemah sebesar 0,45% ke level 5.985,19.

IHSG melemah kala mayoritas bursa saham utama kawsan regional diperdagangkan menguat: indeks Nikkei naik 0,35%, indeks Shanghai naik 0,15%, indeks Hang Seng naik 0,16%, dan indeks Kospi naik 0,08%.

Pandangan kami bahwa kita bisa melihat koreksi secara besar-besaran pada pekan ini sudah mulai terkonfirmasi. Kali terakhir ditutup di atas level psikologis 6.000 (31 Agustus 2018), IHSG anjlok 5,57% hanya dalam waktu 3 hari, dari level 6.018,46 menjadi 5.683,5.

Ada 2 alasan kuat yang bisa membuat kejadian serupa terulang pada pekan ini. Pertama, terkait dengan makna dari level psikologis itu sendiri. Level psikologis merupakan sebuah angka bulat yang biasanya dijadikan patokan bagi investor dalam meletakkan order beli maupun jual. Semakin bulat sebuah level harga/indeks, maka akan semakin banyak dijadikan acuan. Sebagai contoh, level 6.000 akan lebih menarik jika dibandingkan dengan level 5.900.

Lantaran banyak dijadikan patokan oleh investor, volatilitas di sekitar level psikologis biasanya tinggi. Oleh karena itu, menjadi wajar jika IHSG melemah signifikan pada pekan ini lantaran akan ada banyak investor yang memasang order jual atas saham-saham yang dimilikinya.

Berbicara mengenai order jual, kita bisa masuk ke alasan kedua. Sepanjang minggu lalu, IHSG membukukan imbal hasil sebesar 2,35%. Ini artinya, ruang bagi investor untuk melakukan aksi jual dan merealisasikan keuntungan yang sudah didapatkan menjadi terbuka lebar.



Secara sentimen, terpelesetnya rupiah membuat IHSG juga kehilangan pijakan. Pada pembukaan perdagangan, rupiah menguat 0,64% di pasar spot ke level Rp 14.515/dolar AS. Namun, perlahan-lahan penguatan rupiah tergerus. Bahkan, kini rupiah justru sudah melemah melawan dolar AS.

Hingga berita ini diturunkan, rupiah melemah 0,05% ke level Rp 14.615/dolar AS.

Dolar AS memang perlahan-lahan bisa membalikkan keadaan. Pada pagi hari, indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan greenback terhadap mata uang utama dunia lainnya melemah sebesar 0,04%. Kini, nilainya adalah flat di level 96,464.

Dolar AS mendapatkan momentum dari aksi jual investor atas euro dan dan poundsterling. Euro melemah 0,12% melawan dolar AS di pasar spot, sementara pound melemah tipis 0,02%.

Ketidakpastian di Benua Biru terkait dengan proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) membuat dolar AS menjadi pilihan investor. Pasca ditinggal Menteri Urusan Brexit Dominic Raab yang mengundurkan diri dari posisinya pada hari Kamis (15/11/2018), Perdana Menteri Inggris Theresa May kini justru berpotensi dilengserkan dari posisinya.

Sebanyak 23 Member of Parliament (MP) dari Partai Konservatif yang merupakan partai Pimpinan May telah secara terbuka mengatakan bahwa mereka telah mengirimkan surat yang isinya meminta pemungutan suara atas mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan May.

Sebanyak 48 surat dibutuhkan untuk melakukan pemungutan suara tersebut. Besar kemungkinan, jumlah MP yang mengirimkan surat terus bertambah dan membuat masa depan May menjadi benar-benar di ujung tanduk.

Jika May sampai dilengserkan, nasib Brexit bisa menjadi kian tidak jelas. Pada akhirnya, perekonomian Inggris dan Uni Eropa menjadi taruhannya.



Perlu diingat juga bahwa dalam beberapa waktu terakhir, rupiah menunjukkan performa yang sangat impresif. Sepanjang bulan November (hingga tanggal 16), rupiah telah menguat 3,89% melawan dolar AS. Aksi ambil untung memang sangat mungkin dilakukan oleh investor kapan saja, terlebih jika ada sentimen negatif seperti yang saat ini terjadi.

Lantaran penguatan yang sudah begitu signifikan, dosis kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps yang diumumkan oleh Bank Indonesia (BI) pada 15 November kemarin menjadi tak lagi terasa.

Tak hanya kenaikan suku bunga acuan BI yang sudah kehilangan tajinya, peluncuran instrumen Special Deposit Account (SDA) juga sudah tak mampu mengangkat kinerja rupiah.

SDA sendiri merupakan sebuah rekening deposito khusus yang dibuka untuk menampung Devisa Hasil Ekspor (DHE). Nantinya, akan ada insentif berupa pemotongan pajak bunga deposito bagi para eksportir yang menyimpan dananya dalam SDA. Jika DHE dikonversi ke rupiah, insentif yang diterima akan menjadi lebih besar.

DHE merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi jilid 16 yang diluncurkan pemerintah pada Jumat lalu (16/11/2018). Secara sektoral, sektor barang konsumsi (-0,7%) menjadi sektor utama yang membawa IHSG meninggalkan level 6.000.

Saham-saham barang konsumsi yang dilepas investor diantaranya: PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-1,3%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (-0,84%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-0,7%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-0,58%), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,3%).

Secara fundamental, saat ini saham-saham sektor barang konsumsi memang tak menarik untuk dikoleksi. Pasalnya, data-data yang sudah ada mengindikasikan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia akan melemah pada kuartal-IV 2018.

Belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal-III 2018 sebesar 5,17% YoY, mengalahkan konsensus yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia sebesar 5,145% YoY.

Namun, terdapat tekanan yang cukup besar bagi pos konsumsi rumah tangga. Pos ini hanya tumbuh sebesar 5,01% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan capaian kuartal-II 2018 yang sebesar 5,14% YoY.

Memang, pada kuartal-II 2018 terdapat bulan puasa dan lebaran yang sangat signifikan mendongkrak konsumsi. Tetapi di kuartal-III 2018, terdapat pagelaran Asian Games 2018 dan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang juga mendongrak konsumsi, walaupun memang tak akan sesignifikan bulan puasa dan lebaran. Tetap saja, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya sebesar 5,01% YoY tergolong lambat.

Di kuartal-IV 2018, ada perayaan hari Natal dan libur tahun baru yang lagi-lagi bisa mendongkrak konsumsi. Namun, dampaknya kami perkirakan juga tak akan sesignifikan bulan puasa dan lebaran.

Apalagi, Bank Indonesia (BI) merilis angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Oktober 2018 di level 119,2, terendah dalam 20 bulan terakhir atau sejak Februari 2017. Turunnya IKK bulan Oktober dipengaruhi oleh penurunan pada 2 komponen pembentuknya, yakni Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK).

IKE turun menjadi 106,2, dari 110,2 pada bulan sebelumnya. Sementara itu, IEK turun menjadi 132,2, dari 134,5 pada bulan sebelumnya.

Rendahnya angka IKK memberikan sinyal bahwa masyarakat Indonesia akan mengurangi konsumsinya dalam beberapa waktu ke depan.

Hal ini pun nampaknya sudah mulai terkonfirmasi. Dalam publikasi Survei Penjualan Eceran periode September 2018 yang dirilis oleh BI, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan riil periode Oktober 2018 tercatat hanya sebesar 3,9% YoY, melambat dari capaian bulan sebelumnya yang sebesar 4,8% YoY.

Kami melihat bahwa konsumsi rumah tangga akan jatuh kebawah level 5% pada kuartal-IV 2018.


TIM RISET CNBC INDONESIA




(ank/roy) Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular