Laju Rupiah Belum Terbendung, IHSG Naik 5 Hari Berturut-Turut

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 November 2018 09:32
IHSG dibuka menguat 0,27% untuk mengawali pekan ini ke level 6.028,33.
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat 0,27% untuk mengawali pekan ini ke level 6.028,33. IHSG lantas berada dalam jalur yang tepat untuk membukukan penguatan selama 5 hari berturut-turut.

Performa IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang sebelumnya juga dibuka di zona hijau: indeks Shanghai naik 0,1%, indeks Hang Seng naik 0,36%, indeks Straits Times turun 0,16%, dan indeks Kospi naik 0,18%.

Memudarnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan oleh Federal Reserve selaku bank sentral AS pada penghujung tahun ini memotori penguatan bursa saham Benua Kuning.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 18 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps pada bulan Desember adalah sebesar 67,2%, lebih rendah dari posisi tanggal 16 November 2018 yang sebesar 68,9%. Jika dibandingkan dengan posisi 1 minggu sebelumnya, nilainya turun lebih jauh. Sepekan yang lalu, probabilitasnya berada di level 75,8%.

Ada 3 hal utama yang membuat pelaku pasar tak yakin bahwa perekonomian AS masih 'sepanas' periode-periode sebelumnya, sehingga suku bunga acuan tak perlu dikerek pada Desember nanti. Pertama, komentar dari Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell.

Dalam sesi tanya jawab dalam sebuah acara di Dallas pada 14 November lalu, Powell mengakui bahwa perekonomian global tidak bertumbuhan dengan laju yang sama pada tahun sebelumnya. Ia menambahkan bahwa laju pertumbuhan ekonomian global secara perlahan melambat, walaupun itu bukan merupakan perlambatan yang parah.

Kedua, komentar dari Wakil Gubenur The Fed yang baru, Richard Clarida. Menurut Clarida, suku bunga acuan di AS sudah semakin mendekati titik netral, di mana suku bunga tidak lagi mendorong laju perekonomian maupun mengeremnya.

Lebih lanjut, dirinya menambahkan bahwa kenaikan suku bunga berikutnya sebaiknya lebih mengacu kepada data (data dependent) karena saat ini Federal Funds Rate (FFR) sudah semakin dekat ke target 2,5-2,5% yang disebut netral.

"Kami sudah dalam titik di mana harus benar-benar data dependent. Suku bunga kebijakan yang netral adalah sesuatu yang masuk akal," tutur Clarida.

Ketiga, data ekonomi terbaru yang dirilis di Negeri Paman Sam menunjukkan adanya kontraksi dari sisi produksi. Pada hari Jumat (16/11/2018), data pertumbuhan produksi industri periode Oktober 2018 diumumkan melemah sebesar 0,1% MoM, meleset dari konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 0,2% MoM, seperti dikutip dari Forex Factory.

Data produksi industri meenghitung total perubahan output yang dihasilkan oleh industri manufaktur, pertambangan, dan utilitas. Data ini merupakan leading indicator dari perekonomian AS. Jika produksi dalam suatu periode mengalami kontraksi, maka kemungkinan besar tingkat konsumsi rumah tangga di periode berikutnya akan tertekan, mengingat konsumsi akan dipenuhi oleh produksi pada periode sebelumnya.

Di AS, konsumsi rumah tangga membentuk sekitar 70% dari total nilai perekonomian. Ketika konsumsi melambat, maka pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan melandai sehingga the Fed tak perlu repot-repot melakukan pengetatan.

Seiring dengan memudarnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan di akhir tahun, rupiah pun kembali perkasa melawan dolar AS. Hingga berita ini diturunkan, rupiah menguat 0,19% di pasar spot ke level Rp 14.580/dolar AS. Di sisi lain, indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan greenback terhadap mata uang utama dunia lainnya melemah sebesar 0,04%.

Investor asing merespons penguatan rupiah dengan membukukan beli bersih sebesar Rp 28 miliar di pasar saham.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(ank/roy) Next Article Ikut Melemah, Rupiah Tembus 14.500 Per Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular