Dari Pemimpin Asia, Rupiah Kini di Ujung Tanduk

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 November 2018 10:40
Dari Pemimpin Asia, Rupiah Kini di Ujung Tanduk
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat di kurs acuan. Namun di pasar spot, penguatan rupiah sudah di ujung tanduk. 

Pada Senin (19/11/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.586. Rupiah menguat tipis 0,05% dibandingkan posisi akhir pekan lalu. 

Padahal pada perdagangan akhir pekan lalu, rupiah mampu menguat tajam 1,15%. Ini merupakan penguatan harian tertinggi sejak 28 Juni 2016. 

 

Sementara di pasar spot, rupiah juga menguat dalam kisaran terbatas. Pada pukul 10:17 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.605 di mana rupiah menguat tipis 0,02%. 

Padahal kala pembukaan pasar rupiah mampu terapresiasi hingga 0,64%. Memang selepas pembukaan pasar penguatan rupiah berkurang, tetapi tidak disangka bisa sedalam ini. 


Penguatan rupiah yang berkurang drastis membuat mata uang Tanah Air kehilangan status sebagai raja Asia. Kini yen Jepang menjadi mata uang dengan penguatan paling tajam di Benua Kuning. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:16 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Melihat dolar AS yang dominan di Asia, rupiah masih beruntung tidak terjerembab ke zona hijau. Investor kini menilai ada risiko besar di perekonomian global sehingga arus modal kembali mengarah ke dolar AS yang merupakan aset aman (safe haven). 

Di Inggris, perundingan kesepakatan perceraian dengan Uni Eropa (Brexit) kian runyam. Bahkan kepercayaan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Theresa May semakin tergerus. 

Mengutip BBC, lebih dari 20 orang anggota parlemen dari Partai Konservatif pendukung May sudah melayangkan surat mosi tidak percaya. Memang masih cukup jauh dari batas pengajuan resmi, yaitu 48 suara. Namun jika pandangan negatif terhadap pemerintah terus terjadi, maka jumlah mosi tidak percaya pasti akan bertambah. 

May sendiri menegaskan akan tetap fokus menjalankan tugasnya dan mengawal agar Brexit tetap mengedepankan kepentingan Inggris. Rencananya draf kesepakatan Brexit akan dibahas dalam sidang Uni Eropa pada 25 November. 

"Tujuh hari ke depan akan menjadi saat-saat kritis yang menentukan nasib negara ini. Saya tidak akan teralihkan dari tugas penting ini. Pergantian kepemimpinan tidak akan membuat semua menjadi lebih mudah, justru akan menunda tercapainya kesepakatan," tegas May, mengutip Reuters. 

Perkembangan ini membuat potensi No Deal Brexit, di mana Inggris tidak akan mendapat keuntungan apa pun, semakin meningkat. Apabila ini terwujud, maka akan menjadi pukulan berat bagi perekonomian Negeri John Bull. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Risiko berikutnya datang dari perkembangan hubungan dagang AS-China. Meski hubungan Washington-Beijing agak mesra belakangan ini, tetapi masih ada api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa menyeruak. 

Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa dirinya sudah menerima surat dari China yang berisi 142 daftar reformasi ekonomi yang sudah dilakukan di sana. Secara umum, Trump memang puas dan kemungkinan tidak akan memberlakukan bea masuk tambahan bagi produk-produk made in China

"Mungkin kami tidak akan melakukannya (pemberian bea masuk tambahan). China ingin membuat kesepakatan," ujar Trump, mengutip Reuters. 

Namun, Trump juga menyebut masih ada beberapa poin yang belum memuaskannya. "Mereka mengirim daftar yang banyak dan beberapa belum bisa saya terima," tegasnya. 

Aura perang dagang AS-China juga terlihat dalam KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) yang gagal menghasilkan komunike. Mengutip Reuters, seorang diplomat yang turut dalam pembahasan komunike menyatakan bahwa China menolak adanya kesepakatan yang berisi "menolak praktik perdagangan tidak sehat sesuai dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)". 

Momentum ini bisa menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan global. Pasalnya, terlihat bahwa AS dan China masih memiliki banyak ketidaksepahaman.  

Dikhawatirkan hal ini berlanjut ke rencana pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping di KTT G20 akhir bulan ini. Bisa-bisa aura damai dagang yang sudah semakin kuat kembali memudar dan AS-China kembali terlibat perang dagang.   


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular