
Duet Rupee dan Rupiah Lunglai di Asia, Apa Sebabnya?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 November 2018 14:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Rupiah dan rupee India 'berkejaran' menjadi mata uang terlemah di Asia.
Pada Senin (12/11/2018) pukul 13:34 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 14.775. Rupiah melemah 0,65% dibandingkan posisi penutupan pasar akhir pekan lalu.
Mata uang Tanah Air sudah melemah sejak pembukaan pasar spot. Selepas itu, pelemahan rupiah semakin dalam.
Pekan lalu menjadi periode yang indah buat rupiah, yang menguat tajam 1,81% secara mingguan. Namun mengawali pekan yang baru, rupiah sudah dipayungi awan mendung.
Rupiah yang pekan lalu sempat menguat signifikan selama 3 hari beruntun dan jadi mata uang terbaik Asia, kini harus menerima kenyataan pahit. Rupiah menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam di Benua Kuning, hanya lebih baik dari rupee India.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 13:54 WIB:
Tidak hanya di Asia, kekuatan dolar AS sudah mengglobal. Pada pukul 13:57 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat sampai 0,44%.
Bahkan indeks ini sudah mencapai level 97, tepatnya di 97,334. Dollar Index kini mencapai posisi tertinggi sejak Juni 2017.
Dolar AS kembali jadi buruan karena tingginya risiko di Inggris. Lagi-lagi proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) menemui hambatan.
Mengutip Sunday Times, 4 orang menteri di kabinet Perdana Menteri Theresa May dikabarkan siap mundur karena mendukung Inggris untuk tetap menjadi bagian Uni Eropa. Tidak hanya itu, Brussel juga disebut menolak proposal yang diajukan London terkait kesepakatan sementara terkait wilayah kepabeanan di Pulau Irlandia.
Ketidakpastian soal Brexit membuat investor menghindari Benua Biru. Dolar AS kembali jadi pilihan, sehingga memperkuat mata uang ini.
Namun ada faktor domestik yang membuat rupiah dan rupee melemah lebih dalam ketimbang mata uang Asia lainnya. Di India, investor memperkirakan laju inflasi Oktober akan melambat.
Konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv memperkirakan inflasi India pada Oktober sebesar 3,67% year-on-year (YoY), melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,77%. Jika terwujud, ini akan menjadi laju paling lambat dalam setahun terakhir.
Bank Sentral India (RBI) menargetkan inflasi dalam jangka panjang di kisaran 4%. Apabila realisasi inflasi Oktober sesuai ekspektasi, maka akan menjadi tiga bulan beruntun inflasi berada di bawah target RBI.
Perlambatan laju inflasi di India mencerminkan gairah ekonomi yang menurun. Ada masalah di konsumsi dan daya beli masyarakat sehingga laju kenaikan harga melambat.
Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang 70,23% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Bollywood pada 2016, mengutip data Bank Dunia. Ketika konsumsi rumah tangga melambat, maka pertumbuhan ekonomi berisiko ikut terhambat.
Sementara Indonesia masih menghadapi masalah klasik. Rupiah terbeban oleh rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Pada kuartal III-2018, NPI mengalami defisit US$ 4,39 miliar, terendah sejak kuartal III-2015.
NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II-2018, keduanya tekor.
Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014. Pos ini menjadi perhatian utama pelaku pasar, karena mencerminkan pasokan devisa dari sumber yang lebih berjangka panjang yaitu perdagangan.
Dengan NPI (dan transaksi berjalan) yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik terutama rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (12/11/2018) pukul 13:34 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 14.775. Rupiah melemah 0,65% dibandingkan posisi penutupan pasar akhir pekan lalu.
Mata uang Tanah Air sudah melemah sejak pembukaan pasar spot. Selepas itu, pelemahan rupiah semakin dalam.
Pekan lalu menjadi periode yang indah buat rupiah, yang menguat tajam 1,81% secara mingguan. Namun mengawali pekan yang baru, rupiah sudah dipayungi awan mendung.
Rupiah yang pekan lalu sempat menguat signifikan selama 3 hari beruntun dan jadi mata uang terbaik Asia, kini harus menerima kenyataan pahit. Rupiah menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam di Benua Kuning, hanya lebih baik dari rupee India.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 13:54 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Melihat mata uang utama Asia, memang jelas bahwa dolar AS terlalu perkasa. Semua mata uang Asia melemah, tidak ada yang bisa melawan balik. Tidak hanya di Asia, kekuatan dolar AS sudah mengglobal. Pada pukul 13:57 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat sampai 0,44%.
Bahkan indeks ini sudah mencapai level 97, tepatnya di 97,334. Dollar Index kini mencapai posisi tertinggi sejak Juni 2017.
Dolar AS kembali jadi buruan karena tingginya risiko di Inggris. Lagi-lagi proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) menemui hambatan.
Mengutip Sunday Times, 4 orang menteri di kabinet Perdana Menteri Theresa May dikabarkan siap mundur karena mendukung Inggris untuk tetap menjadi bagian Uni Eropa. Tidak hanya itu, Brussel juga disebut menolak proposal yang diajukan London terkait kesepakatan sementara terkait wilayah kepabeanan di Pulau Irlandia.
Ketidakpastian soal Brexit membuat investor menghindari Benua Biru. Dolar AS kembali jadi pilihan, sehingga memperkuat mata uang ini.
Namun ada faktor domestik yang membuat rupiah dan rupee melemah lebih dalam ketimbang mata uang Asia lainnya. Di India, investor memperkirakan laju inflasi Oktober akan melambat.
Konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv memperkirakan inflasi India pada Oktober sebesar 3,67% year-on-year (YoY), melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,77%. Jika terwujud, ini akan menjadi laju paling lambat dalam setahun terakhir.
Bank Sentral India (RBI) menargetkan inflasi dalam jangka panjang di kisaran 4%. Apabila realisasi inflasi Oktober sesuai ekspektasi, maka akan menjadi tiga bulan beruntun inflasi berada di bawah target RBI.
Perlambatan laju inflasi di India mencerminkan gairah ekonomi yang menurun. Ada masalah di konsumsi dan daya beli masyarakat sehingga laju kenaikan harga melambat.
Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang 70,23% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Bollywood pada 2016, mengutip data Bank Dunia. Ketika konsumsi rumah tangga melambat, maka pertumbuhan ekonomi berisiko ikut terhambat.
Sementara Indonesia masih menghadapi masalah klasik. Rupiah terbeban oleh rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Pada kuartal III-2018, NPI mengalami defisit US$ 4,39 miliar, terendah sejak kuartal III-2015.
NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II-2018, keduanya tekor.
Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014. Pos ini menjadi perhatian utama pelaku pasar, karena mencerminkan pasokan devisa dari sumber yang lebih berjangka panjang yaitu perdagangan.
Dengan NPI (dan transaksi berjalan) yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik terutama rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular