Menguat 8 Hari Beruntun di Kurs Acuan, Rupiah Balik Arah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 November 2018 10:25
Menguat 8 Hari Beruntun di Kurs Acuan, Rupiah Balik Arah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan berbalik melemah. Pelemahan ini membalik tren penguatan rupiah yang sudah terjadi dalam 8 hari perdagangan terakhir. 

Pada Senin (12/11/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.747. Rupiah melemah lumayan dalam yaitu 0,79% dibandingkan posisi akhir pekan lalu. 

Sebelum hari ini, rupiah sudah menguat 8 hari beruntun di kurs acuan. Dolar AS yang awalnya di kisaran Rp 15.200 mampu ditekan jauh ke level Rp 14.600. 


Sejak awal tahun, rupiah di kurs acuan melemah 8,89% di hadapan greenback. Sedangkan dibandingkan posisi setahun yang lalu, depresiasinya mencapai 8,79%. 

 

Sementara di pasar spot, rupiah juga melemah meski tidak sedalam di kurs acuan. Pada pukul 10:05 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.720 di mana rupiah melemah 0,27%. 

Membuka pasar spot, rupiah sudah melemah 0,14%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin tajam dan sempat mencapai minus 0,51%. 


Namun kemudian rupiah mulai berbalik arah. Meski belum sampai menguat, tetapi pelemahan rupiah melandai. 


Di Asia, beberapa mata uang mulai mampu menguat di hadapan greenback yaitu yuan China dan dolar Singapura. Dengan pelemahan 0,27%, nasib rupiah sedikit membaik. Rupiah kini menjadi mata uang terlemah kedua di Benua Kuning, lebih baik dibandingkan peso Filipina di dasar klasemen. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 10:08 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Aura positif dari China sedikit menolong rupiah cs. Mengutip Reuters, Menteri Keuangan China Liu Kun mengatakan pemerintah akan memberikan stimulus pajak untuk menggairahkan dunia usaha Negeri Tirai Bambu. Bentuknya adalah pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dan kewajiban perpajakan bagi eksportir. 

Pelaku usaha China memang sedang lesu. Ini terlihat dari dua data teranyar yaitu inflasi di tingkat grosir (Producer Price Index/PPI) dan penjualan mobil.  

Inflasi tingkat produsen di China pada Oktober 2018 tercatat 3,3% secara tahunan, melambat dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu 3,6%.  

Kemudian penjualan mobil pada Oktober 2018 turun 11,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi dalam 4 bulan berturut-turut. Bahkan penurunan Oktober 2018 menjadi yang terdalam sejak Januari 2012. 

Dengan pemberian stimulus, meski belum ada elaborasi lebih lanjut, pasar keuangan China kembali bergairah. Tidak hanya yuan, indeks Shangai Composite juga menguat 0,61% pada pukul 10:10 WIB. 

Sementara dolar Singapura mampu menguat karena lembaga pemeringkat Moody's mengafirmasi rating surat utang Negeri Singa di AAA. Moody's menilai Singapura memiliki ketahanan ekonomi, keuangan, dan fiskal yang memadai. 

"Kekuatan struktural Singapura mampu menutup risiko jangka pendek dan memberikan bantalan. Diversifikasi ekonomi Singapura yang baik akan membuat negara ini mampu beradaptasi menghadapi gangguan rantai pasok global dan perubahan pola perdagangan. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan stabilitas fiskal," papar keterangan tertulis Moody's. 

Berbeda dengan yuan dan dolar Singapura, rupiah masih terjebak di zona merah karena sentimen domestik. Akhir pekan lalu Bank Indonesia (BI) merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Hasilnya sesuai perkiraan, defisit NPI lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya. 

Pada kuartal III-2018, NPI mengalami defisit US$ 4,39 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yang juga minus US$ 4,31 miliar. Pencapaian kuartal III-2018 merupakan yang terendah sejak kuartal III-2015. 

NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014. Pos ini menjadi perhatian utama pelaku pasar, karena mencerminkan pasokan devisa dari sumber yang lebih berjangka panjang yaitu perdagangan.  


Data NPI, terutama transaksi berjalan, menjadi perhatian utama pelaku pasar. Pasalnya, data ini mencerminkan pasokan di perekonomian nasional. Jika defisit, berarti memang pasokan valas sedang seret sehingga wajar kalau rupiah melemah. 

Dengan NPI (dan transaksi berjalan) yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik terutama rupiah. 


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular