Dapat Angin Segar dari China, Rupiah Masih Terlemah di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 November 2018 09:38
Dapat Angin Segar dari China, Rupiah Masih Terlemah di Asia
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah bergerak melemah pada perdagangan awal pekan ini. Sejauh ini, sentimen positif dari China belum mampu banyak menolong rupiah. 

Pada Senin (12/11/2018) pukul 09:27 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 14.730. Rupiah melemah 0,34% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Membuka hari, rupiah melemah 0,14%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah kian dalam dan bahkan sempat mencapai 0,51%. 


Namun kemudian pelemahan rupiah sedikit menipis, meski belum sampai terapresiasi. Angin segar bagi rupiah datang dari China. 

Mengutip Reuters, Menteri Keuangan China Liu Kun mengatakan pemerintah akan memberikan stimulus pajak untuk menggairahkan dunia usaha Negeri Tirai Bambu. Bentuknya adalah pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dan kewajiban perpajakan bagi eksportir. 

Pelaku usaha China memang sedang lesu. Ini terlihat dari dua data teranyar yaitu inflasi di tingkat grosir (Producer Price Index/PPI) dan penjualan mobil.  

Inflasi tingkat produsen di China pada Oktober 2018 tercatat 3,3% secara tahunan, melambat dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu 3,6%.  

Kemudian penjualan mobil pada Oktober 2018 turun 11,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi dalam 4 bulan berturut-turut. Bahkan penurunan Oktober 2018 menjadi yang terdalam sejak Januari 2012. 

Dengan pemberian stimulus, meski belum ada elaborasi lebih lanjut, pasar keuangan China kembali bergairah. Mata uang yuan menguat 0,02% di hadapan greenback, sementara indeks Shanghai Composite menguat 0,1% pada pukul 09:25 WIB. 

Kabar dari China membawa harapan bagi pasar keuangan Benua Kuning. Rupiah pun bisa menipiskan pelemahannya, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,14% pada pukul 09:27 WIB. 

Meski sudah membaik, tetapi pelemahan rupiah masih menjadi yang terdalam di Asia. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 09:28 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Well, rupiah memang masih menanggung beban berat. Sentimen domestik dan eksternal sedang kurang mendukung mata uang Tanah Air. 

Dari dalam negeri, akhir pekan lalu Bank Indonesia (BI) merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Hasilnya sesuai perkiraan, defisit NPI lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya. 

Pada kuartal III-2018, NPI mengalami defisit US$ 4,39 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yang juga minus US$ 4,31 miliar. Pencapaian kuartal III-2018 merupakan yang terendah sejak kuartal III-2015. 

NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II-2018, keduanya tekor. 

Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014. Pos ini menjadi perhatian utama pelaku pasar, karena mencerminkan pasokan devisa dari sumber yang lebih berjangka panjang yaitu perdagangan.  


Sementara transaksi modal dan finansial, yang mencerminkan pasokan valas dari investasi di sektor riil dan pasar keuangan, defisit US$ 4,67 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,44 miliar. 

Data NPI, terutama transaksi berjalan, menjadi perhatian utama pelaku pasar. Pasalnya, data ini mencerminkan pasokan di perekonomian nasional. Jika defisit, berarti memang pasokan valas sedang seret sehingga wajar kalau rupiah melemah. 

Dengan NPI (dan transaksi berjalan) yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik terutama rupiah. 

Tidak hanya domestik, faktor eksternal juga berat buat rupiah. Pasalnya dolar AS memang perkasa. Dollar Index, yang mengukur posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia, menguat 0,08% pada puku 09:31 WIB. 

Dolar AS masih merasakan suntikan adrenalin dari hasil rapat The Federal Reserbe/The Fed edisi Oktober 2018. Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memang mempertahankan suku bunga acuan di 2-2,25%. Namun The Fed masih memandang kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang layak untuk ditempuh. 


Pernyataan ini membuat pelaku pasar bernafsu memburu dolar AS. Pasalnya kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengatrol imbalan investasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular