
Menguat 8 Hari Beruntun di Kurs Acuan, Rupiah Balik Arah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 November 2018 10:25

Aura positif dari China sedikit menolong rupiah cs. Mengutip Reuters, Menteri Keuangan China Liu Kun mengatakan pemerintah akan memberikan stimulus pajak untuk menggairahkan dunia usaha Negeri Tirai Bambu. Bentuknya adalah pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dan kewajiban perpajakan bagi eksportir.
Pelaku usaha China memang sedang lesu. Ini terlihat dari dua data teranyar yaitu inflasi di tingkat grosir (Producer Price Index/PPI) dan penjualan mobil.
Inflasi tingkat produsen di China pada Oktober 2018 tercatat 3,3% secara tahunan, melambat dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu 3,6%.
Kemudian penjualan mobil pada Oktober 2018 turun 11,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi dalam 4 bulan berturut-turut. Bahkan penurunan Oktober 2018 menjadi yang terdalam sejak Januari 2012.
Dengan pemberian stimulus, meski belum ada elaborasi lebih lanjut, pasar keuangan China kembali bergairah. Tidak hanya yuan, indeks Shangai Composite juga menguat 0,61% pada pukul 10:10 WIB.
Sementara dolar Singapura mampu menguat karena lembaga pemeringkat Moody's mengafirmasi rating surat utang Negeri Singa di AAA. Moody's menilai Singapura memiliki ketahanan ekonomi, keuangan, dan fiskal yang memadai.
"Kekuatan struktural Singapura mampu menutup risiko jangka pendek dan memberikan bantalan. Diversifikasi ekonomi Singapura yang baik akan membuat negara ini mampu beradaptasi menghadapi gangguan rantai pasok global dan perubahan pola perdagangan. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan stabilitas fiskal," papar keterangan tertulis Moody's.
Berbeda dengan yuan dan dolar Singapura, rupiah masih terjebak di zona merah karena sentimen domestik. Akhir pekan lalu Bank Indonesia (BI) merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Hasilnya sesuai perkiraan, defisit NPI lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya.
Pada kuartal III-2018, NPI mengalami defisit US$ 4,39 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yang juga minus US$ 4,31 miliar. Pencapaian kuartal III-2018 merupakan yang terendah sejak kuartal III-2015.
NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014. Pos ini menjadi perhatian utama pelaku pasar, karena mencerminkan pasokan devisa dari sumber yang lebih berjangka panjang yaitu perdagangan.
Data NPI, terutama transaksi berjalan, menjadi perhatian utama pelaku pasar. Pasalnya, data ini mencerminkan pasokan di perekonomian nasional. Jika defisit, berarti memang pasokan valas sedang seret sehingga wajar kalau rupiah melemah.
Dengan NPI (dan transaksi berjalan) yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik terutama rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pelaku usaha China memang sedang lesu. Ini terlihat dari dua data teranyar yaitu inflasi di tingkat grosir (Producer Price Index/PPI) dan penjualan mobil.
Inflasi tingkat produsen di China pada Oktober 2018 tercatat 3,3% secara tahunan, melambat dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu 3,6%.
Dengan pemberian stimulus, meski belum ada elaborasi lebih lanjut, pasar keuangan China kembali bergairah. Tidak hanya yuan, indeks Shangai Composite juga menguat 0,61% pada pukul 10:10 WIB.
Sementara dolar Singapura mampu menguat karena lembaga pemeringkat Moody's mengafirmasi rating surat utang Negeri Singa di AAA. Moody's menilai Singapura memiliki ketahanan ekonomi, keuangan, dan fiskal yang memadai.
"Kekuatan struktural Singapura mampu menutup risiko jangka pendek dan memberikan bantalan. Diversifikasi ekonomi Singapura yang baik akan membuat negara ini mampu beradaptasi menghadapi gangguan rantai pasok global dan perubahan pola perdagangan. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan stabilitas fiskal," papar keterangan tertulis Moody's.
Berbeda dengan yuan dan dolar Singapura, rupiah masih terjebak di zona merah karena sentimen domestik. Akhir pekan lalu Bank Indonesia (BI) merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Hasilnya sesuai perkiraan, defisit NPI lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya.
Pada kuartal III-2018, NPI mengalami defisit US$ 4,39 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yang juga minus US$ 4,31 miliar. Pencapaian kuartal III-2018 merupakan yang terendah sejak kuartal III-2015.
NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014. Pos ini menjadi perhatian utama pelaku pasar, karena mencerminkan pasokan devisa dari sumber yang lebih berjangka panjang yaitu perdagangan.
Data NPI, terutama transaksi berjalan, menjadi perhatian utama pelaku pasar. Pasalnya, data ini mencerminkan pasokan di perekonomian nasional. Jika defisit, berarti memang pasokan valas sedang seret sehingga wajar kalau rupiah melemah.
Dengan NPI (dan transaksi berjalan) yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik terutama rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular