
Turun 10 Hari Beruntun, Harga Minyak Amblas 5% Pekan Lalu
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
11 November 2018 11:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada penutupan perdagangan hari Jumat (11/11/2018), harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 terkoreksi 0,66% ke level US$ 70,18/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desember 2018 turun 0,79% ke level US$ 60,19/barel.
Dengan pergerakan itu, harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) sudah melemah 10 hari berturut-turut, yang merupakan reli pelemahan harian terpanjang sejak 1984. Harga light sweet bahkan sudah menyentuh level terendahnya dalam 8 bulan terakhir, atau sejak awal Maret 2018.
Sementara, harga brent yang menjadi acuan di Eropa juga kini sudah berada di level terburuknya sejak awal April 2018, atau dalam 7 bulan terakhir.
Adapun, dalam sepekan terakhir, harga light sweet amblas 4,67% secara point-to-point, sedangkan harga brent ambrol 3,64%. Pelemahan mingguan ini menjadi yang ke-4 secara berturut-turut, atau sejak sepekan yang berakhir tanggal 12 Oktober 2018.
Pada awal Oktober lalu, harga minyak sebenarnya sempat menanjak pesat, hingga menyentuh rekor tertingginya dalam 4 tahun terakhir. Kala itu, harga brent menyentuh angka US$ 86,29/barel, serta harga light sweet ada di level US$ 76,41/barel.
Namun, tak lama setelah itu pergerakannya berubah 180 derajat. Hanya dalam waktu kurang lebih sebulan, harga sang emas hitam langsung ambrol di kisaran 20%.
BACA: Fundamental Buruk, Harga Minyak Jatuh 20% Hanya Dalam Sebulan
Kejatuhan harga minyak tidak lepas dari fundamental komoditas minyak mentah dunia yang memang buruk. Pasokan membanjir, sementara permintaan justru diramal lesu.
Produsen Minyak Utama Dunia Banjiri Pasokan Pasar
Sejumlah indikator memang sudah menunjukkan kondisi pasar minyak global yang cenderung oversupply. Dari Negeri Paman Sam, Departemen Energi AS menyatakan produksi minyak mentah menyentuh rekor tertinggi 11,35 juta barel/hari pada Agustus dan diekspektasikan akan terus bertambah.
Seiring produksi yang kuat tersebut, US Energy Information Administration (EIA) melaporkan cadangan minyak mentah AS naik ke angka 5,8 juta barel dalam sepekan yang berakhir tanggal 2 November, jauh di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 2,4 juta barel.
Tidak hanya itu, EIA juga mencatat produksi minyak mentah mingguan AS tercatat sebesar 11,6 juta barel/hari, menjadi rekor mingguan terbesar sepanjang sejarah Negeri Adidaya.
Dari Timur Tengah, survei Reuters menemukan 15 negara anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memproduksi 33,31 juta barel/hari minyak mentah pada bulan Oktober. Capaian itu naik 390.000 barel/hari dari bulan sebelumnya, sekaligus merupakan level tertinggi sejak Desember 2016.
Irak, yang merupakan produsen terbesar kedua di OPEC, bahkan menargetkan kapasitas produksi sebesar 5 juta barel/hari pada 2019, naik dari 4,6 juta barel/hari. Demikian pernyataan Menteri Perminyakan Thamer Ghadhban beberapa hari lalu, seperti dilansir dari Reuters.
Dari Negeri Beruang Merah, produksi minyak Russia telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.
Kemudian, sanksi AS terhadap Iran justru disangsikan akan berdampak signifikan. Ini setelah AS memberikan keringanan pada 8 negara importir utama untuk tetap bisa membeli minyak dari Negeri Persia. Artinya, disrupsi pasokan yang sebelumnya dikhawatirkan, nampaknya tidak akan menjadi kenyataan.
Teranyar, delegasi Korea Selatan, termasuk pembeli minyak, akan bertolak ke Iran pekan depan, dalam rangka mendiskusikan kelanjutan impor minyak, seperti dikutip Reuters. Sebagai catatan, Korea Selatan sudah menghentikan impor minyak dari Iran dalam 3 bulan terakhir.
Korea Selatan merupakan salah satu dari 8 negara yang diberikan keringanan oleh AS. Negeri Ginseng kini dapat mengimpor minyak made in Iran hingga 200.000 barel/hari, untuk 180 hari ke depan.
Tidak hanya itu, dengan keringanan sanksi Iran, China juga masih akan diperbolehkan mengimpor minyak mentah dari Iran, mengutip Reuters. Negeri Tirai Bambu masih bisa membeli sekitar 360.000 barel/hari dalam 180 hari ke depan.
Ekonomi Global Lesu, Permintaan Melambat.
Saat pasokan membanjir, permintaan komoditas minyak malah diekspektasikan melambat. Pelemahan nilai tukar telah memberikan tekanan bagi pertumbuhan ekonomi Asia, termasuk India dan Indonesia. Belum lagi, perang dagang AS-China masih mengancam pertumbuhan ekonomi Negeri Panda, termasuk mitra dagang utamanya seperti Korea Selatan dan Jepang.
Terbaru, pertumbuhan indeks harga produsen China, yang mengukur harga yang diterima produsen untuk penjualan barang dan jasa, melambat ke 3,3% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Oktober. Perlambatan ini merupakan yang ke-4 bulan secara berturut-turut.
Perlambatan ini lantas mengindikasikan permintaan domestik dan aktivitas industri semakin lesu. Sebuah sinyal perekonomian China memang sedang tertekan oleh gejolak eksternal yang melanda. Hal itu lantas memperkuat sentimen permintaan energi global memang akan melambat ke depannya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Dengan pergerakan itu, harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) sudah melemah 10 hari berturut-turut, yang merupakan reli pelemahan harian terpanjang sejak 1984. Harga light sweet bahkan sudah menyentuh level terendahnya dalam 8 bulan terakhir, atau sejak awal Maret 2018.
Sementara, harga brent yang menjadi acuan di Eropa juga kini sudah berada di level terburuknya sejak awal April 2018, atau dalam 7 bulan terakhir.
Pada awal Oktober lalu, harga minyak sebenarnya sempat menanjak pesat, hingga menyentuh rekor tertingginya dalam 4 tahun terakhir. Kala itu, harga brent menyentuh angka US$ 86,29/barel, serta harga light sweet ada di level US$ 76,41/barel.
Namun, tak lama setelah itu pergerakannya berubah 180 derajat. Hanya dalam waktu kurang lebih sebulan, harga sang emas hitam langsung ambrol di kisaran 20%.
BACA: Fundamental Buruk, Harga Minyak Jatuh 20% Hanya Dalam Sebulan
Kejatuhan harga minyak tidak lepas dari fundamental komoditas minyak mentah dunia yang memang buruk. Pasokan membanjir, sementara permintaan justru diramal lesu.
Produsen Minyak Utama Dunia Banjiri Pasokan Pasar
Sejumlah indikator memang sudah menunjukkan kondisi pasar minyak global yang cenderung oversupply. Dari Negeri Paman Sam, Departemen Energi AS menyatakan produksi minyak mentah menyentuh rekor tertinggi 11,35 juta barel/hari pada Agustus dan diekspektasikan akan terus bertambah.
Seiring produksi yang kuat tersebut, US Energy Information Administration (EIA) melaporkan cadangan minyak mentah AS naik ke angka 5,8 juta barel dalam sepekan yang berakhir tanggal 2 November, jauh di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 2,4 juta barel.
Tidak hanya itu, EIA juga mencatat produksi minyak mentah mingguan AS tercatat sebesar 11,6 juta barel/hari, menjadi rekor mingguan terbesar sepanjang sejarah Negeri Adidaya.
Dari Timur Tengah, survei Reuters menemukan 15 negara anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memproduksi 33,31 juta barel/hari minyak mentah pada bulan Oktober. Capaian itu naik 390.000 barel/hari dari bulan sebelumnya, sekaligus merupakan level tertinggi sejak Desember 2016.
Irak, yang merupakan produsen terbesar kedua di OPEC, bahkan menargetkan kapasitas produksi sebesar 5 juta barel/hari pada 2019, naik dari 4,6 juta barel/hari. Demikian pernyataan Menteri Perminyakan Thamer Ghadhban beberapa hari lalu, seperti dilansir dari Reuters.
Dari Negeri Beruang Merah, produksi minyak Russia telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.
Kemudian, sanksi AS terhadap Iran justru disangsikan akan berdampak signifikan. Ini setelah AS memberikan keringanan pada 8 negara importir utama untuk tetap bisa membeli minyak dari Negeri Persia. Artinya, disrupsi pasokan yang sebelumnya dikhawatirkan, nampaknya tidak akan menjadi kenyataan.
Teranyar, delegasi Korea Selatan, termasuk pembeli minyak, akan bertolak ke Iran pekan depan, dalam rangka mendiskusikan kelanjutan impor minyak, seperti dikutip Reuters. Sebagai catatan, Korea Selatan sudah menghentikan impor minyak dari Iran dalam 3 bulan terakhir.
Korea Selatan merupakan salah satu dari 8 negara yang diberikan keringanan oleh AS. Negeri Ginseng kini dapat mengimpor minyak made in Iran hingga 200.000 barel/hari, untuk 180 hari ke depan.
Tidak hanya itu, dengan keringanan sanksi Iran, China juga masih akan diperbolehkan mengimpor minyak mentah dari Iran, mengutip Reuters. Negeri Tirai Bambu masih bisa membeli sekitar 360.000 barel/hari dalam 180 hari ke depan.
Ekonomi Global Lesu, Permintaan Melambat.
Saat pasokan membanjir, permintaan komoditas minyak malah diekspektasikan melambat. Pelemahan nilai tukar telah memberikan tekanan bagi pertumbuhan ekonomi Asia, termasuk India dan Indonesia. Belum lagi, perang dagang AS-China masih mengancam pertumbuhan ekonomi Negeri Panda, termasuk mitra dagang utamanya seperti Korea Selatan dan Jepang.
Terbaru, pertumbuhan indeks harga produsen China, yang mengukur harga yang diterima produsen untuk penjualan barang dan jasa, melambat ke 3,3% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Oktober. Perlambatan ini merupakan yang ke-4 bulan secara berturut-turut.
Perlambatan ini lantas mengindikasikan permintaan domestik dan aktivitas industri semakin lesu. Sebuah sinyal perekonomian China memang sedang tertekan oleh gejolak eksternal yang melanda. Hal itu lantas memperkuat sentimen permintaan energi global memang akan melambat ke depannya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular