Fundamental Buruk, Harga Minyak Jatuh 20% Hanya Dalam Sebulan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
09 November 2018 09:56
Hanya dalam waktu sebulan, harga sang emas hitam sudah ambrol di kisaran 20%, dari titik tertingginya dalam 4 tahun.
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC IndonesiaPada penutupan perdagangan hari Kamis (8/11/2018), harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 anjlok 1,97% ke level US$ 70,65/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desember 2018 amblas 1,62% ke level US$ 60,67/barel.

Harga minyak masih masih belum bosan melanjutkan tren pelemahannya. Harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) sudah melemah 9 hari berturut-turut, hingga menyentuh level terendahnya dalam 8 bulan terakhir.

Sementara, harga brent yang menjadi acuan di Eropa juga kini sudah berada di level terburuknya sejak awal April 2018, atau dalam 7 bulan terakhir.

Pada awal Oktober lalu, harga minyak sebenarnya sempat menanjak pesat, hingga menyentuh rekor tertingginya dalam 4 tahun terakhir. Kala itu, harga brent menyentuh angka US$ 86,29/barel, serta harga light sweet ada di level US$ 76,41/barel.

Namun, tak lama setelah itu pergerakannya berubah 180 derajat. Hanya dalam waktu sebulan, harga sang emas hitam langsung ambrol di kisaran 20%.

Kejatuhan harga minyak tidak lepas dari fundamental komoditas minyak mentah dunia yang memang buruk. Pasokan membanjir, sementara permintaan justru diramal lesu.

Kemudian, sentimen sanksi AS terhadap Iran yang bulan lalu sempat mengangkat harga, kini sudah sirna. Pasalnya, AS memberikan keringanan terhadap sejumlah importir supaya tetap bisa mengimpor minyak dari Iran. Akibatnya, dampak disrupsi pasokan dari Teheran diekspektasikan tidak separah yang diperkirakan sebelumnya.



Sejumlah indikator memang sudah menunjukkan kondisi pasar minyak global yang cenderung oversupply. Dari Negeri Paman Sam, Departemen Energi AS menyatakan bahwa produksi minyak mentah menyentuh rekor tertinggi 11,35 juta barel/hari di Agustus, dan diekspektasikan akan terus bertambah.

Seiring produksi yang kuat tersebut, kemarin US Energy Information Administration (EIA) melaporkan bahwa cadangan minyak mentah AS naik ke angka 5,8 juta barel pada pekan lalu, jauh di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 2,4 juta barel.

Tidak hanya itu, EIA juga mencatat bahwa produksi minyak mentah mingguan AS tercatat sebesar 11,6 juta barel/hari, menjadi rekor mingguan terbesar sepanjang sejarah Negeri Adidaya.

Dari Timur Tengah, survei Reuters menemukan bahwa 15 negara anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memproduksi 33,31 juta barel/hari minyak mentah pada bulan Oktober. Capaian itu naik 390.000 barel/hari dari bulan sebelumnya, sekaligus merupakan level tertinggi sejak Desember 2016.

Irak, yang merupakan produsen terbesar kedua di OPEC, bahkan menargetkan kapasitas produksi sebesar 5 juta barel/hari pada 2019, naik dari 4,6 juta barel/hari, ucap Menteri Perminyakan Thamer Ghadhban beberapa hari lalu, seperti dilansir dari Reuters. 

Dari Negeri Beruang Merah, produksi minyak Russia telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.

Kemudian, sanksi Iran justru disangsikan akan berdampak signifikan, pasca pihak AS memberikan keringanan pada 8 negara importir untuk tetap bisa membeli minyak dari Negeri Persia. Artinya, disrupsi pasokan yang sebelumnya dikhawatirkan, nampaknya tidak akan menjadi kenyataan.

Teranyar, China juga masih akan diperbolehkan mengimpor minyak mentah dari Iran, di bawah keringanan sanksi AS, mengutip Reuters. Dengan keringanan tersebut, Negeri Tirai Bambu masih bisa membeli sekitar 360.000 barel/hari dalam 180 hari ke depan.

Saat pasokan membanjir, permintaan komoditas minyak malah diekspektasikan melambat. Pelemahan nilai tukar telah memberikan tekanan bagi pertumbuhan ekonomi Asia, termasuk India dan Indonesia. Belum lagi, perang dagang AS-China masih mengancam pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu, termasuk mitra dagang utamanya seperti Korea Selatan dan Jepang.

Akibat fundamental yang buruk seperti itu, akhirnya wajar harga minyak terbanting begitu parah hanya dalam waktu sebulan.

BACA: Pasar Diramal Oversupply, Harga Minyak Lanjut Koreksi

Pada perdagangan hari ini, harga minyak masih cenderung bergerak stabil. Hingga pukul 09.21 WIB hari ini, harga light sweet tercatat terkoreksi 0,15% ke US$ 60,58/barel, sedangkan harga brent naik tipis 0,06% ke US$ 70,69/barel.

Ada sentimen positif yang sebenarnya bisa menyokong harga minyak pada hari ini. Sentimen itu datang dari Rusia dan Arab Saudi (pemimpin OPEC secara de-facto) yang dikabarkan telah mengadakan diskusi bilateral untuk kembali melakukan kesepakatan pemangkasan produksi di tahun depan.

Mengutip Reuters, dua sumber dari OPEC mengatakan bahwa pemangkasan produksi di tahun depan tidak bisa diabaikan, dalam rangka menghindari kemungkinan membanjirnya pasokan yang ujung-ujungnya dapat membebani harga.

Sebagai informasi, OPEC dan negara-negara produsen non-OPEC (termasuk Rusia) sebelumnya menyepakati pemangkasan produksi di awal tahun 2017, dan terbukti berhasil mengangkat harga minyak dari keterpurukannya di medio 2014-2016.

Namun, pada Juni 2018, sekelompok produsen utama dunia tersebut memutuskan untuk melonggarkan pemangkasan produksi setelah muncul tekanan dari Presiden AS Donald Trump yang menginginkan harga minyak tidak melambung tinggi.

Dengan kini wacana pemangkasan produksi kembali muncul ke permukaan, pelaku bisa berharap bahwa harga minyak masih berpeluang kembali terkerek naik.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)  

(RHG/hps) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular