
Goldman Sachs Prediksi Kekurangan Minyak pada 2020
Wangi Sinintya Mangkuto, CNBC Indonesia
09 November 2018 21:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Goldman Sachs memproyeksikan akan terjadi kekurangan minyak dalam skala besar pada 2020. Pemicu utama adalah penurunan investasi di tengah dorongan perubahan ke arah energi baru dan terbarukan.
Demikian disampaikan analis energi dari Goldman Sachs Michelle Della Vigna kepada CNBC International, Jumat (9/11/2018). "Transisi ke energi rendah karbon akan datang melalui harga minyak yang lebih tinggi bukan lebih rendah," kata Della Vigna.
Ia mengatakan, perusahaan besar mulai memahami jika ingin dicermati investor, mereka harus meminimalkan jumlah karbon di atmosfer. Della Vigna mengatakan, hingga transisi ke energi terbarukan tuntas, pertempuran sementara akan mengarah ke energi berbasis gas.
Dengan modal yang sangat besar untuk infrastruktur gas, perusahaan-perusahaan besar yang didukung negara sangat laik investasi. "Kami berbicara tentang new seven sister yang mendominasi pasar minyak dan gas global karena tidak ada yang dapat membiayai megaproyek itu," ujar Della Vigna.
New seven sister dianggap sebagai perusahaan paling berpengaruh dari negara-negara di luar Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Mereka antara lain Saudi Aramco, Gazprom Rusia, NIOC of Iran, China National Petroleum Corp, Petrobras Brasil, PDVSA Venezuela, dan Petronas dari Malaysia.
"Seven Sisters" asli adalah perusahaan-perusahaan pada 1950-an yang kemudian akan berkonsolidasi menjadi BP, Chevron, Shell, Exxon Mobil, dan Royal Dutch Shell. Perusahaan-perusahaan minyak Eropa seperti Shell dan Total juga menjadi saingan AS dalam membuat transisi dari raksasa minyak menjadi raksasa energi.
Pasar minyak mengalami pelemahan dalam beberapa hari terakhir karena kekhawatiran kelebihan pasokan dan kekhawatiran perlambatan ekonomi. Kontrak minyak Brent dan WTI turun sekitar 20 persen, dari posisi tertinggi terakhir pada Oktober.
(miq/miq) Next Article Gara-gara China Harga Minyak Melesat 4%
Demikian disampaikan analis energi dari Goldman Sachs Michelle Della Vigna kepada CNBC International, Jumat (9/11/2018). "Transisi ke energi rendah karbon akan datang melalui harga minyak yang lebih tinggi bukan lebih rendah," kata Della Vigna.
Ia mengatakan, perusahaan besar mulai memahami jika ingin dicermati investor, mereka harus meminimalkan jumlah karbon di atmosfer. Della Vigna mengatakan, hingga transisi ke energi terbarukan tuntas, pertempuran sementara akan mengarah ke energi berbasis gas.
New seven sister dianggap sebagai perusahaan paling berpengaruh dari negara-negara di luar Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Mereka antara lain Saudi Aramco, Gazprom Rusia, NIOC of Iran, China National Petroleum Corp, Petrobras Brasil, PDVSA Venezuela, dan Petronas dari Malaysia.
"Seven Sisters" asli adalah perusahaan-perusahaan pada 1950-an yang kemudian akan berkonsolidasi menjadi BP, Chevron, Shell, Exxon Mobil, dan Royal Dutch Shell. Perusahaan-perusahaan minyak Eropa seperti Shell dan Total juga menjadi saingan AS dalam membuat transisi dari raksasa minyak menjadi raksasa energi.
Pasar minyak mengalami pelemahan dalam beberapa hari terakhir karena kekhawatiran kelebihan pasokan dan kekhawatiran perlambatan ekonomi. Kontrak minyak Brent dan WTI turun sekitar 20 persen, dari posisi tertinggi terakhir pada Oktober.
(miq/miq) Next Article Gara-gara China Harga Minyak Melesat 4%
Most Popular