Rajai Asia Kemarin, Jangan Senang Dulu, Rupiah!

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
07 November 2018 08:29
Keperkasaan rupiah yang mencapai 1% kemarin memang tak lepas dari rencana pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping.
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah untuk kesekian kalinya berhasil membuat dolar Amerika Serikat (AS) bertekuk lutut. Bahkan, pergerakan rupiah kemarin pun menggila hingga menjadi raja di Asia.

Pada awal pembukaan perdagangan pasar spot, Selasa (6/11/2018), mata uang Garuda berada di Rp 14.950/US$. Seiring perjalanan waktu, penguatan rupiah makin menjadi hingga ditutup di Rp 14.800/US$.


Keperkasaan rupiah yang mencapai 1% kemarin memang tak lepas dari rencana pertemuan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping.

Pertemuan yang akan dilakukan di sela-sela rangkaian kegiatan negara-negara G-20 itu diharapkan menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, yakni berakhirnya perang dagang.

Faktor lainnya dari sisi internal, data pertumbuhan ekonomi domestik yang melampaui ekspektasi pasar pada akhirnya memicu investor masuk ke pasar keuangan Indonesia.

Derasnya aliran modal di pasar keuangan domestik membuat bank sentral tak perlu repot-repot melakukan intervensi dalam menjaga nilai tukar rupiah selama dua pekan terakhir.

Berbeda dalam beberapa bulan lalu saat bank sentral harus habis-habisan melakukan intervensi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah hingga menggerus cadangan devisa.

"Kami sempat alami likuiditas valas sempat kering. Nah ini sekarang kami dua minggu ini tak pernah intervensi," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah, Selasa.

BI sebagai garda terdepan penjaga stabilitas rupiah pun cukup optimistis rupiah masih bisa terus menguat, bahkan melebihi level Rp 14.700/US$ - Rp 14.800/US$.

Rajai Asia Kemarin, Jangan Senang Dulu, Rupiah!Foto: Infografis/Pergerakan Rupiah/Arie Pratama
"Peluang [penguatan rupiah] ada. [...] Kalau kami lihat, kami optimis inflow masih akan terus masuk," kata Nanang.

Meski demikian, bukan berarti greenback akan tinggal diam sebab nasib rupiah hingga akhir tahun memang sangat ditentukan oleh perkembangan dinamika ekonomi internasional.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo tak memungkiri pertemuan antara Trump dan Xinping yang diharapkan membawa angin kedamaian terkait isu perang dagang menjadi salah satu berita yang ditunggu investor.

"Semua berharap positif terhadap pertemuan antara Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping," kata Dody.

Jika tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak, bukan tidak mungkin muncul ketidakpastian baru yang membuat para investor tak mau lagi bermain aman di instrumen negara berkembang.

Isu tersebut, bukan satu-satunya. Dalam waktu dekat bank sentral AS Federal Reserve akan kembal menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC). Pasar menantikan sinyal The Fed terkait kenaikan suku bunga lanjutan di Desember nanti.


Sementara dari dalam negeri, bank sentral pun akan merilis data defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal III-2018, yang diperkirakan tekor di atas 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Kondisi tersebut, akan memberikan tekanan lebih terhadap nilai tukar rupiah. Namun, BI menegaskan akan terus berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya.


(prm) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular