Saat ini, investor global sedang menunggu arah pembicaraan damai antara Amerika Serikat dan China terkait perang dagang. Penasehat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyatakan, pimpinan kedua negara berencana untuk bertemu di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini. Bahkan Presiden AS Donald Trump menyatakan arah pembicaraan kedua negara cukup positif.
"Diskusi dengan China sangat baik. Kami berdua semakin dekat untuk mencapai sesuatu. Saya rasa kami akan mencapai kesepakatan dengan China, dan itu akan adil untuk semua," kata Trump kepada jurnalis di Gedung Putih, dikutip dari Reuters.
Imbas dari tanda-tanda rujuknya kedua negara menghembuskan risk appetite (berburu instrumen investasi beresiko) kembali tumbuh. Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, akan berlomba memanfaatkan situasi ini untuk menarik modal asing sebesar-besarnya.
Masing-masing negara tentu akan menciptakan pasar keuangannya semakin menarik, salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan.
Sejak awal tahun, Bank Indonesia (BI) yang telah menaikkan suku bunga acuan 150 basis poin. Posisi BI-7 Day Reverse Repo pun berada di level 5,75% dan merupakan yang tertinggi setelah suku bunga acuan Vietnam (6,25%)
Sementara dibandingkan negara-negara kawasan ASEAN lain seperti Thailand, Filipina dan Malaysia, suku bunga acuan di Indonesia masih lebih menarik. Hal ini jadi modal awal untuk Indonesia untuk mengundang modal asing masuk.
Di sisi lain, suku bunga acuan yang naik berimbas kepada pergerakan yield obligasi termasuk obligasi pemerintah. Namun ada fakta menarik di sini. Meskipun dari segi suku bunga acuan Indonesia masih lebih rendah dari Vietnam, akan tetapi tingkat imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia masih lebih tinggi.
Hal ini menasbihkan tingkat yield obligasi pemerintah Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN. Tentu menjadi modal besar lainnya, agar investor asing lebih memilih Indonesia sebagai pelabuhan investasinya. Jika ini terjadi, rupiah memiliki peluang menguat lebih tajam kedepannya.
Dari dalam negeri, setidaknya ada dua hal yang dapat menjadi amunisi rupiah. Pertama, pasar Domestik-Non Delivery Forward (DNDF).
Pada Kamis (1/11/2018) Bank Indonesia resmi memperkenalkan pasar DNDF dalam dua tenor yaitu 1 dan 3 bulan. Kehadiran DNDF berimbas positif bagi rupiah sebab aliran valas di dalam negeri terjaga. Situasi tersebut tidak lepas dari dukungan berbagai stakeholder terkait.
"Saya sampaikan terima kasih ke perbankan, pelaku keuangan dan korporasi yang aktif di pasar valas," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di kantornya, Jakarta, Jumat (2/11/2018).
Selain itu, aturan DNDF yang harus memberlakukan underlying dan memiliki tujuan yang jelas, mendorong aksi spekulasi berkurang. Hal tersebut mendorong ketersedian valas di pasar terjaga.
Selain DNDF, amunisi tambahan dari rilis pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018. Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018 sebesar 5,17% Year-on-Year (YoY).
Meskipun pencapaian ini lebih lambat dibandingkan kuartal II-2018 sebesar 5,27%, namun lebih tinggi dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,14%. Di sisi lain, pencapaian ini lebih tinggi dari periode yang sama pada tahun 2017 sebesar 5,06% YoY.
Saat kondisi ekonomi global yang tidak menentu, keberhasilan pemerintah mempertahankan tren positif pertumbuhan ekonomi tentu diapresiasi pasar. Terlebih bank-bank sentral di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, mulai mengetatkan kebijakan moneternya guna merespon normalisasi kebijakan di Amerika Serikat (AS).
Bank Indonesia (BI) sendiri telah menaikkan suku bunga acuan hingga 150 basis poin (bps) pada tahun ini. Imbas dari kebijakan ini, tentu mengancam pertumbuhan beberapa variabel pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) diantaranya investasi dan konsumsi. Namun faktanya, kedua variabel tetap tumbuh baik.
Sektor investasi masih tumbuh 6,96%, bahkan lebih baik dibandingkan kuartal II-2018 yaitu 5,86%. Sementara konsumsi masih terjaga di atas 5%. Ketika dua variabel ini kontributor terbesar pembentuk PDB.
Maka, saat pertumbuhan keduannya masih terjaga, akan mendorong pertumbuhan ekonomi tetap positif. Kedua sentimen positif ini memperbesar peluang rupiah untuk memperbaiki posisinya di kawasan ASEAN.
TIM RISET CNBC INDONESIA