Mission Impossible Indonesia : Meraih Posisi 40 EODB di 2020

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
01 November 2018 19:28
Mission Impossible Indonesia : Meraih Posisi 40 EODB di 2020
Foto: IMF-Annual Meetings (CNBC Indonesia/Monica Wareza)
Jakarta, CNBC IndonesiaBank Dunia (World Bank) baru saja merilis laporan berisi tingkat kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business) di 190 negara untuk tahun 2019.

Pada laporan tersebut, Indonesia berada di posisi 73 atau turun satu peringkat dibandingkan tahun 2018.
 Posisi Indonesia kalah dibandingkan negara tetangga seperti Singapura (2), Malaysia (15), Thailand (27),Brunei Darussalam (55) dan Vietnam (69).  



Sementara dengan China, posisi Indonesia pun berhasil tersalip. Padahal di tahun 2018, posisi Indonesia masih lebih unggul dibandingkan Negeri Tirai Bambu.
 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengklaim pemerintah telah melakukan perbaikan untuk memacu posisi Indonesia.  Namun di saat yang bersamaan, negara-negara juga ikut melakukan perbaikan. Yang membedakan, proses reformasi yang dilakukan 

"Kenapa doing business kita turun. Karena negara lain ada yang reform-nya lebih cepat," kata Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian, Kamis (1/11/2018). 

Guna menggenjot program pembangunan di dalam negeri, pemerintah menetapkan target baru yaitu menembus posisi 40 di tahun 2020 atau menyamai posisi dari Serbia. Tentu pertanyaan yang pertama kali muncul di benak kita, apakah bisa? Dengan melihat kondisi ekonomi, sosial dan politik saat ini, target tersebut mungkin terlalu tinggi.

Tapi mengacu kepada pepatah. " tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini", target tersebut bisa dilakukan dengan melakukan perbaikan lebih cepat di semua bidang atau minimal beberapa bidang tertentu.

(NEXT)



Dalam melakukan penilaian Ease of Doing Business di suatu negara, World Bank menggunakan 10 Indikator
 
 
Berdasarkan 10 indikator tersebut, 6 indikator yang mengalami peningkatan skor dan 4 indikator lain cenderung stagnan.
 
Reformasi paling sukses terlihat dari indikator pemberian pembiayaan, dimana skornya meningkat 5 poin. Sementara indikator-indikator lain seperti memulai bisnis (3 poin), mendapat aliran listrik (3 poin) ataupun kemudahan mendaftarkan bangunan (2 poin).
 
Kemudahan pembiayaan memang jadi salah satu fokus pemerintah saat ini. Melalui program yang dinamakan inklusi keuangan, pemerintah menargetkan untuk semakin banyak masyarakat yang mendapatkan akses keuangan, utamanya kredit.
 
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tingkat penggunaan jasa keuangan di Indonesia mencapai 63% hingga akhir 2017.
 
Kenaikan ini salah satunya ditunjang oleh kemajuan teknologi. Saat ini banyak financial technology (fintech) yang menawarkan produk-produk keuangan seiring kemudahan mengakses informasi via internet.
 
Guna menunjang pencapaian skor di sektor ini, mungkin ada baiknya pemerintah dan bank-bank BUMN meningkatkan kerjasama dengan para fintech yang ada.
 
Merujuk keterbatasan kantor cabang bank atau lembaga pembiayaan di suatu daerah, maka pemanfaatan internet dalam meningkatan akses kredit patut dimaksimalkan.
 
Bagaimana dengan sektor lain? Misalnya kemudahan berbisnis. Di Indonesia, jumlah pengusaha sekitar 4% dari total keseluruhan penduduk. Artinya jika mengasumsikan ada 250 juta masyarakat, jumlah pengusaha hanya sekitar 10 juta orang.
 
Sejauh ini masalah klasik yang dialami para calon pengusaha selain modal adalah birokrasi. Presiden Jokowi melakukan paket kebijakan ekonomi jilid 16 yaitu program One Single Submission (OSS). Program ini salah satunya ditujukan untuk mengatasi prosedur perizinan yang berbelit-belit.
 
Program ini diyakini jadi ajian ampuh dalam mengatasi permasalahan birokrasi. Namun lagi-lagi pemerintah perlu melakukan monitoring agar praktek di lapangan sesuai harapan.
 
Hanya dalam satu tahun, meningkatkan posisi Ease of Doing Business Indonesia hingga 30 peringkat bukan perkara mudah. Ibarat film Tom Cruise, ini merupakan salah mission imposible yang harus dilakukan pemerintah.
Selain reformasi kebijakan yang telah dilakukan, tidak ada salahnya Indonesia bisa mengintip negara-negara tetangga dalam meningkatkan reformasi kemudahan berbisnis.
 
Mari kita ambil Singapura, negara ASEAN dengan peringkat tertinggi yaitu posisi 2. Di negara yang terkenal dengan ikon Singa Merlion, melakukan reformasi cukup baik.
 
DI bidang perizinan, jika seseorang ingin memulai suatu bisnis maka waktu yang dibutuhkan sekitar 1-2 hari.
 
Sementara Indonesia, prosedur membuka usaha dalam skala UMKM  membutuhkan waktu 10 hari (berdasarkan isi paket kebijakan ekonomi jilid 12).
 
jika program SSO mampu menyamai apa yang dilakukan Singapura, tentu akan semakin banyak masyarakat yang ingin jadi seorang pengusaha.
 
Dampaknya? Secara tidak langsung akan meningkatkan skor saat Bank Dunia akan melakukan survei kemudahan bisnis.
 
Jika ini berhasil, maka Indonesia baru mengikuti inovasi-inovasi kebijakan lainnya. Sebab pada dasarnya, kemudahan perizinan jadi yang paling urgent bagi seseorang untuk memulai suatu bisnis. Sementara persoalan modal maupun hal-hal lain ada di posisi berikutnya.
 
Oleh sebab itu, program SSO diharapkan berhasil kedepannya, sehingga tujuan pemerintah untuk meningkatkan posisi Ease of Doing Business secara signifikan bisa tercapai.
 
TIM RISET CNBC INDONESIA
 
 

(alf/dru) Next Article Jokowi Ingin Kemudahan Berusaha (EODB) RI Naik ke Peringkat 4

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular