Harga Minyak Memang Pulih, Tapi Awan Hitam Masih Membayangi

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
31 October 2018 11:08
Pada perdagangan hari Rabu pukul 10.36 WIB, harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 naik 0,53% ke level US$ 76,31/barel.
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC IndonesiaPada perdagangan hari ini Rabu (31/10/2018) pukul 10.36 WIB, harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 naik 0,53% ke level US$ 76,31/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desember 2018 menguat 0,32% ke level US$ 66,39/barel.

Harga minyak kompak pulih setelah kemarin terkoreksi secara signifikan. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (30/10/2018), harga brent yang menjadi acuan di Eropa amblas nyaris 2%, sementara harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) turun 1,28%.

Kedua harga minyak acuan dunia itu lantas berada di titik terlemahnya dalam 2 bulan terakhir, atau sejak Agustus 2018, pada perdagangan kemarin. Sepanjang bulan Oktober 2018, harga minyak jenis brent malah sudah amblas di kisaran 8%.

Berbagai sentimen negatif memang masih menghantui harga sang emas hitam. Dari mulai pertumbuhan ekonomi global yang kian terancam akibat memanasnya tensi perang dagang AS-China, hingga semakin membanjirnya pasokan minyak global.

Meski demikian, penguatan bursa saham Asia pagi ini nampaknya mampu menjadi bahan bakar bagi harga minyak untuk mencatatkan rebound.



Bursa saham utama kawasan Asia kompak dibuka menguat pada pagi hari ini. Indeks Nikkei naik 0,52%, indeks Strait Times naik 0,42%, indeks Shanghai 0,19%, indeks Hang Seng naik 0,68%, dan indeks Kospi naik 0,4%.

Kepercayaan diri untuk masuk ke bursa saham Benua Kuning datang dari melesatnya Wall Street pada perdagangan overnight. Indeks Dow Jones ditutup melesat 1,77%, S&P 500 melesat 1,57%, dan Nasdaq menguat 1,58%.

Performa positif di pasar saham pagi ini lantas sedikit meredakan kekhawatiran bahwa permintaan energi dunia akan melambat. Kemarin, gara-gara tensi perang dagang AS-China memanas, harga minyak memang terkoreksi cukup dalam.

BACA: Perang Dagang Panas Lagi, Harga Minyak Makin Tenggelam

Presiden Trump mengonfirmasi bahwa Washington sudah menyiapkan bea masuk baru jika dialog dengan China nir-hasil.

"Saya rasa kami akan punya kesepakatan dengan China, dan saya berharap itu akan menjadi kesepakatan yang bagus karena mereka telah menghisap kami. Saya punya US$ 267 miliar (bea masuk baru) yang sudah menunggu kalau tidak ada kesepakatan," tegas Trump dalam wawancara dengan FOX News, mengutip Reuters.

Di satu sisi, Trump sudah siap berdialog dengan China dan ingin ada kesepakatan untuk mengakhiri 'balas pantun' bea masuk Washington-Beijing. Namun di sisi lain, Trump juga ibarat terang-terangan menaruh 'pistol' di atas meja yang siap ditembakkan jika tidak ada kesepakatan.

Pelaku pasar pun nampaknya cenderung pesimis dan memikirkan skenario terburuk, yakni bea masuk baru untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 257 miliar.

AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di dunia. Kala mereka saling hambat perdagangan, akibatnya adalah gangguan rantai pasok (supply chain) dunia. Hasilnya adalah perlambatan arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global.

Perdagangan dan aktivitas ekonomi yang melambat tentu akan menurunkan permintaan terhadap energi. Kalau permintaan energi turun, maka harganya juga akan turun.

Tidak hanya itu, harga minyak sejatinya masih dihantui oleh meningkatnya pasokan dari Rusia dan AS, top 2 produsen minyak mentah dunia.

Dari Negeri Beruang Merah, Menteri Energi Rusia Alexander Novak menyatakan pada  akhir pekan lalu bahwa tidak ada alasan bagi Moscow untuk memangkas level produksi minyak. Pasalnya, ada risiko bahwa pasar minyak global dapat mengalami defisit.

"Untuk saat ini, tidak ada landasan untuk itu (memangkas produksi). Sebaliknya malah, seperti anda lihat, sekarang ada risiko defisit minyak," ucap Novak.

Dari Negeri Paman Sam, American Petroleum Institute (API) melaporkan bahwa cadangan minyak mentah AS meningkat 5,7 juta barel pada pekan lalu, jauh lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 4,1 juta barel.

Sebagai informasi, tingkat produksi minyak top 3 negara produsen (Rusia, AS, Arab Saudi) kini secara total mencapai 33 juta barel/hari pada September, mengutip data Refinitiv Eikon. Level itu merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah. Ketiga negara produsen itu kini memenuhi 1/3 dari permintaah minyak global.

Sentimen perang dagang AS-China, serta membanjirnya pasokan dunia, lantas masih membatasi penguatan harga minyak hari ini. Bukan tidak mungkin malah harga minyak bisa berbalik ke zona merah. 

(TIM RISET CNBC INDONESIA)  



(RHG/gus) Next Article Gara-gara Stok Minyak AS, Harga 'Emas Hitam' Galau

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular