
Perang Dagang Panas Lagi, Harga Minyak Makin Tenggelam
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
30 October 2018 10:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini Selasa (30/10/2018) pukul 10.15 WIB, harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 turun 0,39% ke level US$ 77,04/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desemeber 2018 naik tipis 0,1% ke level US$ 67,11/barel.
Berbeda dengan jenis light sweet, harga minyak jenis brent belum mampu pulih pasca kemarin terperosok ke zona merah. Harga minyak yang menjadi acuan di Benua Eropa itu terkoreksi 0,4% pada penutupan perdagangan hari Senin (29/10/2018).
Berbagai sentimen negatif memang masih menghantui harga minyak Brent. Pertumbuhan ekonomi global kian terancam pasca tensi perang dagang AS-China kembali memanas. Kemudian, Rusia pun memberikan sinyal akan menambah pasokan minyak global.
Meski demikian, potensi seretnya pasokan akibat sanksi AS terhadap Iran pada awal November mendatang masih mampu menyokong harga minyak mentah dunia.
Tersiar kabar bahwa AS siap menerapkan bea masuk baru kepada produk-produk China apabila pertemuan Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping tidak membuahkan hasil. Keduanya dikabarkan akan melakukan pembicaraan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina), bulan depan.
Mengutip Reuters, sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan Washington sudah menyiapkan bea masuk baru sebagai skenario terburuk. Kemungkinan bea masuk itu adalah untuk importasi produk-produk made in China bernilai US$ 257 miliar seperti yang sering dikemukakan Trump.
Sebagai catatan, hingga kini AS telah mengenakan bea masuk bagi importasi produk asal China senilai US$ 250 miliar. Sejauh ini, perekonomian kedua negara, terutama China, terlihat sudah mulai tersakiti oleh kebijakan tersebut.
Apabila intensitas pengenaan bea masuk bertambah besar, bukan hanya perekonomian AS atau China saja yang akan terpuruk, namun perekonomian dunia pun akan menjadi taruhannya. Akibatnya permintaan energi dunia pun terancam menurun. Harga minyak pun tak bisa lepas dari koreksi.
Selain itu, harga minyak brent mendapat tekanan dari sinyal peningkatan pasokan oleh Rusia. Saat ini, Negeri Beruang Merah merupakan produsen minyak mentah terbesar dunia.
Menteri Energi Rusia Alexander Novak menyatakan pada akhir pekan lalu bahwa tidak ada alasan bagi Moscow untuk memangkas level produksi minyak. Pasalnya, ada risiko bahwa pasar minyak global dapat mengalami defisit.
"Untuk saat ini, tidak ada landasan untuk itu (memangkas produksi). Sebaliknya malah, seperti anda lihat, sekarang ada risiko defisit minyak," ucap Novak, seperti dilansir dari Reuters.
Pernyataan Novak itu dipertegas dari tingkat produksi minyak top 3 negara produsen (Rusia, AS, Arab Saudi) yang secara total mencapai 33 juta barel/hari pada September, mengutip data Refinitiv Eikon. Level itu merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah. Ketiga negara produsen itu kini memenuhi 1/3 dari permintaah minyak global.
Meski demikian, kejatuhan harga minyak dibatasi oleh potensi turunnya pasokan akibat Iran yang akan menghadapi sanksi dari Negeri Paman Sam di awal November mendatang.
Ekspor minyak mentah Negeri Persia telah turun ke level 1,5 juta barel/hari pada September dan Oktober, mengutip data Eikon. Padahal, pada puncaknya di bulan Mei 2018, ekspornya masih mencapai 2,5 juta barel/hari.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Berbeda dengan jenis light sweet, harga minyak jenis brent belum mampu pulih pasca kemarin terperosok ke zona merah. Harga minyak yang menjadi acuan di Benua Eropa itu terkoreksi 0,4% pada penutupan perdagangan hari Senin (29/10/2018).
Berbagai sentimen negatif memang masih menghantui harga minyak Brent. Pertumbuhan ekonomi global kian terancam pasca tensi perang dagang AS-China kembali memanas. Kemudian, Rusia pun memberikan sinyal akan menambah pasokan minyak global.
Tersiar kabar bahwa AS siap menerapkan bea masuk baru kepada produk-produk China apabila pertemuan Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping tidak membuahkan hasil. Keduanya dikabarkan akan melakukan pembicaraan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina), bulan depan.
Mengutip Reuters, sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan Washington sudah menyiapkan bea masuk baru sebagai skenario terburuk. Kemungkinan bea masuk itu adalah untuk importasi produk-produk made in China bernilai US$ 257 miliar seperti yang sering dikemukakan Trump.
Sebagai catatan, hingga kini AS telah mengenakan bea masuk bagi importasi produk asal China senilai US$ 250 miliar. Sejauh ini, perekonomian kedua negara, terutama China, terlihat sudah mulai tersakiti oleh kebijakan tersebut.
Apabila intensitas pengenaan bea masuk bertambah besar, bukan hanya perekonomian AS atau China saja yang akan terpuruk, namun perekonomian dunia pun akan menjadi taruhannya. Akibatnya permintaan energi dunia pun terancam menurun. Harga minyak pun tak bisa lepas dari koreksi.
Selain itu, harga minyak brent mendapat tekanan dari sinyal peningkatan pasokan oleh Rusia. Saat ini, Negeri Beruang Merah merupakan produsen minyak mentah terbesar dunia.
Menteri Energi Rusia Alexander Novak menyatakan pada akhir pekan lalu bahwa tidak ada alasan bagi Moscow untuk memangkas level produksi minyak. Pasalnya, ada risiko bahwa pasar minyak global dapat mengalami defisit.
"Untuk saat ini, tidak ada landasan untuk itu (memangkas produksi). Sebaliknya malah, seperti anda lihat, sekarang ada risiko defisit minyak," ucap Novak, seperti dilansir dari Reuters.
Pernyataan Novak itu dipertegas dari tingkat produksi minyak top 3 negara produsen (Rusia, AS, Arab Saudi) yang secara total mencapai 33 juta barel/hari pada September, mengutip data Refinitiv Eikon. Level itu merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah. Ketiga negara produsen itu kini memenuhi 1/3 dari permintaah minyak global.
Meski demikian, kejatuhan harga minyak dibatasi oleh potensi turunnya pasokan akibat Iran yang akan menghadapi sanksi dari Negeri Paman Sam di awal November mendatang.
Ekspor minyak mentah Negeri Persia telah turun ke level 1,5 juta barel/hari pada September dan Oktober, mengutip data Eikon. Padahal, pada puncaknya di bulan Mei 2018, ekspornya masih mencapai 2,5 juta barel/hari.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular