Sejak pagi tadi, dolar AS terus tancap gas. Pergerakan dollar index ( menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata utama) per pukul 16:36 WIB menguat 0,20% di level 96,77 atau tertinggi sejak awal tahun 2018.
Faktor perang dagang nampaknya sangat mendominasi penguatan ini. Tersiar kabar bahwa AS siap menerapkan bea masuk baru kepada produk-produk China apabila pertemuan Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping tidak membuahkan hasil positif. Keduanya dikabarkan akan melakukan pembicaraan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina), bulan depan.
Mengutip Reuters, sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan Washington sudah menyiapkan bea masuk baru sebagai skenario terburuk. Kemungkinan bea masuk itu adalah untuk importasi produk-produk made in China bernilai US$ 257 miliar seperti yang sering dikemukakan Trump.
Hubungan antara AS dan China yang memanas sebenarnya merugikan kedua pihak. Dari sisi AS, realisasi pertumbuhan ekonomi mulai melambat. Data terbaru per kuartal III-2018, pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5% secara kuartalan. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode kuartal II-2018 sebesar 4,2%.
Salah satu biang keladi perlambatan ini adalah anjloknya ekspor AS, terutama kedelai. AS adalah eksportir kedelai terbesar kedua dunia dengan volume 59,16 juta metrik ton pada 2017 dan China adalah pasar terbesarnya dengan volume 35,85 juta metrik ton (63,83%).
Pada Juli lalu, China resmi mengenakan bea masuk 25% untuk impor kedelai asal AS. Akibatnya ekspor kedelai AS berkurang drastis dan itu menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam.
"Perang dagang lebih lanjut tentu akan menghasilkan dampak yang lebih buruk dari apa yang terjadi sekarang," keluh Mark Luschini, Chief Investment Strategist di Janney Montgomery Scott yang berbasis di Philadelphia, dikutip dari Reuters.
China pun ikut terkena dampak. Biro Statistik Nasional China mencatat pertumbuhan laba industrial naik 4,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada September 2018 menjadi CNY 545,5 miliar. Laju pertumbuhan tersebut tidak sampai separuh dari pencapaian bulan sebelumnya dan menjadi yang paling lambat sejak Maret.
Namun, dampak buruk yang menimpa kedua negara nampaknya belum mendinginkan suasana keduannya. Justru yang terjadi, adanya potensi konflik baru. Kondisi ini menyebabkan pasar was-was, sehingga memburu instrumen minim resiko diantaranya dolar AS. Permintaan yang meningkat tentu mendorong penguatan dari mata uang tersebut.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan hasil realisasi investasi kuartal III-2018. Secara keseluruhan total investasi pada kuartal III-2018 turun 1,6% dibandingkan pada kuartal III-2017. Total investasi menjadi Rp 173,8 triliun di kuartal III-2018.
Dari jumlah tersebut porsi penanaman modal asing (FDI) tercatat sebesar Rp 89,1 triliun atau turun 20,2% dibandingkan pada periode yang sama tahun 2017 yang tercatat sebesar Rp 111,7 triliun.
Sementara penanaman modal dalam negeri naik menjadi Rp 84,7 triliun atau 30,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 64,9 triliun.
Dari data ini, seperti perkembangan investasi asing jadi concern pasar. Anjloknya penanaman modal asing hingga 20%, merupakan yang tertinggi dalam masa pemerintahan Joko Widodo
Sejak kuartal II, tren penurunan investasi asing terus terjadi. Hal ini seiring pelemahan rupiah yang tidak bisa terelakkan. Pada kuartal III, rupiah terdepresiasi hingga 4,1% dan menembus level Rp 14.900/US$.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengungkapkan lesunya investasi akibat banyak faktor. Di antaranya pelemahan rupiah hingga defisit neraca dagang.
"Fluktuasi nilai rupiah terhadap Dolar AS yang dipicu oleh kenaikan suku bunga AS dan penguatan dolar di pasar global, terjadinya negatif neraca perdagangan periode Januari-September 2018, perang dagang AS dengan Tiongkok dan negara lain menyebabkan investor bersifat wait and see dan menunda realisasi investasi yang sudah direncanakan sehingga realisasi triwulan III-2018 turun," demikian paparan Thomas di Gedung BKPM, Selasa (30/10/2018).
Investasi asing yang jeblok memicu persepsi jika pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat melambat kedepannya. Akibatnya, pasar keuangan pun terkena imbas sehingga rupiah pun cenderung loyo pada hari ini.