Siang ini, Rupiah Masih Jadi Salah Satu yang Terburuk di Asia

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
30 October 2018 13:10
Siang ini, Rupiah Masih Jadi Salah Satu yang Terburuk di Asia
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Siang ini, kurs rupiah masih tidak berdaya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Belum adanya hilal sentimen positif baik dari eksternal maupun internal jadi penyebab kondisi tersebut.

Pada Selasa (30/10/2018) pukul 12:07 WIB, US$ 1 di pasar spot ditransaksikan pada posisi Rp 15.230/US$. Rupiah Melemah 0,09% dibandingkan dengan penutupan hari kemarin.



Sementara di negara kawasan, pergerakan mata uang cenderung bervariatif. Berikut data pergerakan sejumlah mata uang Asia hingga pukul 12:10 WIB:

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang112.70(0,30)
Yuan China6.96(0,10)
Won Korsel1,139.560,28
Dolar Taiwan30.950,12
Rupee India73.56(0,23)
Dolar Singapura1.380,07
Ringgit Malaysia4.170,00
Bath Thailand33,230,09
Peso Filipina54.280,00

NEXT

Keperkasaan dolar AS hingga siang ini belum memudar. Pergerakan dollar index (menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) pukul 12:15 WIB, masih menguat 0,08% di level 96,66.
 
Kecenderungan investor memburu mata uang tersebut, tidak lepas dari kondisi terbaru perang dagang antara AS dan China.
 
Tersiar kabar bahwa AS siap menerapkan bea masuk baru kepada produk-produk China apabila pertemuan Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping tidak membuahkan hasil. Keduanya dikabarkan akan melakukan pembicaraan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina), bulan depan.
 
Mengutip Reuters, sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan Washington sudah menyiapkan bea masuk baru sebagai skenario terburuk. Kemungkinan bea masuk itu adalah untuk importasi produk-produk made in China bernilai US$ 257 miliar seperti yang sering dikemukakan Trump.
 
Tensi perang dagang AS vs China yang kembali tinggi membuat pelaku pasar was-was. Sebenarnya tidak hanya China yang terluka karena perang dagang, AS pun merasakan efek buruknya.
 
Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2018 adalah 3,5% secara kuartalan yang disetahunkan (quatrerly annualized). Melambat lumayan signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 4,2%.
 
Salah satu biang keladi perlambatan ini adalah anjloknya ekspor AS, terutama kedelai. AS adalah eksportir kedelai terbesar kedua dunia dengan volume 59,16 juta metrik ton pada 2017 dan China adalah pasar terbesarnya dengan volume 35,85 juta metrik ton (63,83%).
 
Pada Juli lalu, China resmi mengenakan bea masuk 25% untuk impor kedelai asal AS. Akibatnya ekspor kedelai AS berkurang drastis dan itu menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam.
 
"Perang dagang lebih lanjut tentu akan menghasilkan dampak yang lebih buruk dari apa yang terjadi sekarang," keluh Mark Luschini, Chief Investment Strategist di Janney Montgomery Scott yang berbasis di Philadelphia, dikutip dari Reuters. 
 
Selain isu perang dagang, faktor yang mendorong penguatan dolar AS adalah rilis data terbaru Core Personal Comsumption Expenditure (Core PCE). Data ini menjadi salah satu acuan Federal Reserve/The Fed dalam mengukur inflasi.
 
Pada September 2018, Core PCE tercatat 2% YoY atau sejalan dengan target The Fed. Ke depan, ada potensi Core PCE akan terus meningkat dan berada sedikit di atas target 2% yang dipatok The Fed. Pasalnya walau pertumbuhan ekonomi AS melambat, tetapi konsumsi rumah tangga tetap tumbuh impresif. Pada kuartal III-2018, pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai 4%, tercepat sejak kuartal IV-2014. 
 
Dengan laju inflasi AS yang kemungkinan terakselerasi, maka bisa menjadi alasan bagi The Fed untuk kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate 25 basis poin pada 19 Desember adalah 73,1%, naik dari posisi kemarin yaitu 66,9%.
 
Ekspektasi kenaikan suku bunga acuan yang semakin tinggi, menyebabkan investor kembali memburu dolar. Akibatnya, mata uang tersebut pun masih perkasa hingga siang ini.
Tekanan rupiah juga datang dari dalam negeri. Siang ini, Badan Kebijakan Penanaman Modal (BKPM) dijadwalkan akan mengumumkan realisasi investasi di kuartal III-2018.
 
Pada kuartal sebelumnya, investasi hanya tumbuh 3,1% YoY, bahkan Penanaman Modal Asing (PMA) terkontraksi alias minus 12,9%. Selama era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), baru kali ini PMA tercatat menurun secara tahunan. 
 
Sementara di kuartal III ini, diperkirakan pertumbuhan investasi masih lambat. Salah satu yang jadi pertimbangan yaitu depresiasi rupiah. Pada periode tersebut, rupiah melemah 4,1% hingga menembus level Rp 14.930 atau terlemah sejak awal tahun 2018 saat itu.
 
Depresiasi rupiah jadi salah satu pertimbangan investor sebelum menanamkan investasinya di Indonesia. Menurut Kepala BKPM Thomas Lembong, investor khususnya asing cenderung wait and see dengan keadaan ini.
 
Jika benar realisasi investasi tumbuh pelan atau bahkan anjlok lagi, maka menimbulkan ekspektasi jika program pembangunan ikut terhambat. Akibatnya, muncul persepsi jika pertumbuhan ekonomi ikut melambat kedepannya. Situasi ini akan berdampak negatif bagi pasar keuangan, sehingga rupiah pun terkena imbasnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA
 
 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular