Pak Jokowi, Ini Lho Sebenarnya Biang Kerok CAD

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
25 October 2018 21:02
Pak Jokowi, Ini Lho Sebenarnya Biang Kerok CAD
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Defisit transaksi berjalan (Current Account) yang menjadi biang kerok rentannya perekonomian Indonesia, jadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi).  Bagaimana tidak, selama Presiden Jokowi memimpin, Indonesia memang belum menikmati lagi surplus transaksi berjalan.  

"Kita memiliki masalah yang sudah bertahun-tahun tidak bisa diselesaikan, yaitu neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan (CAD)," ujar Jokowi di ICE BSD, Rabu (24/10/2018). 

Berdasarkan data yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI), transaksi berjalan Indonesia surplus terjadi terakhir kali pada kuartal III-2011.  



Selepas periode tersebut, nasib transaksi berjalan terus memburuk. Puncaknya pada kuartal II-2014, dimana transaksi berjalan mengalami defisit hingga 4,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tertinggi selama tiga tahun terakhir di periode tersebut.  

Penyakit ini nyatanya tidak sembuh-sembuh hingga periode kuartal II tahun ini. Defisit tercatat mencapai 3% dari PDB atau tertinggi sejak kuartal III-2014. Indonesia memang bukan satu-satunya yang mengalami penyakit tersebut. Negara tetangga seperti Filipina pun mengalami nasib serupa, dimana pada periode kuartal II-2018 mengalami defisit lebih dalam yaitu 3,6% dari PDB.  

Untuk mengidentifikasi mengapa suatu negara mengalami defisit transaksi berjalan, maka tahap awal yang harus kita tahu apa komponen pembentuknya. Setidaknya ada 4 komponen utama yaitu neraca perdagangan barang, jasa, pendapatan primer dan sekunder.  

BI mendefinisikan neraca perdagangan barang sebagai transaksi ekspor dan impor barang dagangan umum, emas non-moneter dan net ekspor barang merchanting. Sementara neraca perdagangan jasa mencakup ekspor dan impor jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa transportasi jasa perjalanan (travel), jasa konstruksi (construction services), jasa asuransi dan lain-lain. 

Transaksi pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja  dan pendapatan investasi dari investasi langsung, investasi portofolio dan investasi lainnya. Lalu Transaksi pendapatan sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya.  

Untuk kasus Indonesia, variabel yang berkontribusi besar terhadap defisit transaksi berjalan ternyata datang dari transaksi pendapatan primer.



Berdasarkan data di atas, terlihat bagaimana tingginya transaksi pendapatan primer yang minus. Arti dari tanda minus berarti valas mengalir ke luar negeri. Defisit pendapatan primer tertinggi ada pada periode kuartal III-2017 sebesar US$ 8,93 miliar. Sementara pada kuartal II kemarin, pendapatan primer minus US$ 8,15 miliar. Tingginya angka komponen tersebut, bisa jadi penyebab utama mengapa transaksi berjalan masih sakit hingga saat ini. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?

(NEXT)



Merujuk pada definisi yang diberikan BI, setidaknya kita mendapat petunjuk variabel yang jadi penyebab tingginya angka komponen tersebut
 
Dimulai dari investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI). Data Badan Kebijakan Penanaman Modal (BKPM) periode kuartal IV-2014 hingga kuartal II-2018, investasi langsung khususnya asing terus tumbuh
 
 
Bahkan pada kuartal IV-2017, FDI mencatatkan angka tertinggi sebesar Rp 112 triliun. Pertumbuhan FDI sejatinya jadi pisau bermata dua. Memang ada keuntungan yang bisa kita raih, namun di sisi lain ada harga yang harus dibayar. Hal tersebut adalah realisasi keuntungan dari investasi yang dilakukan.

Dalam dunia bisnis, hal tersebut memanglah wajar. Namun, Indonesia bisa memanfaatkan hal tersebut untuk memberikan nilai tambah (value added) bagi perekonomian. Pada data yang dirilis BPKM per kuartal II-2018, realisasi investasi FDI tertinggi bukan untuk kegiatan berorientasi ekspor dan produktif.
 
Kegiatan yang bisa memberikan value added seperti pertambangan, listrik, gas dan air justru lebih rendah dari sektor tersebut. Alhasil, keuntungan mutlak lebih memihak asing dibandingkan Indonesia Untuk mengakali hal tersebut, mungkin ada baiknya Indonesia lebih mengoptimalkan investasi dari dalam negeri.
 
Data yang dirilis oleh BKPM pada kuartal IV-2014 hingga kuartal II 2018, investasi dalam negeri terus tumbuh meskipun tidak setinggi investasi asing.
 
 
Bahkan pada kuartal II-2018 kemarin, pertumbuhan investasi dalam negeri mencapai angka tertinggi yaitu Rp 80,6 triliun.
 
Sementara untuk realisasi, investasi dalam negeri seperti lebih cenderung ke sektor produktif. Dalam data periode sama, terlihat sektor produktif seperti transportasi dan telekomunikasi menempati angka tertinggi diikuti industri makan minum dan pertambangan
 
 
Gambaran ini, tentu bisa jadi evaluasi bagi pemerintah jika investasi dalam negeri sejatinya lebih menguntungkan bagi perekonomian.
 
Selanjutnya masalah Tenaga Kerja Asing (TKA). Data Kementerian Ketenagakerjaan 2017 memperlihatkan, jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia mencapai 85.974.


 
Sejak tahun 2013, pertumbuhan rata-rata jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia mencapai 3.000 orang.
 
keahlian tenaga kerja asing terkadang diperlukan, seiring terbatasnya tenaga kerja dalam negeri yang handal. Namun, hal tersebut justru menyebabkan aliran valas Indonesia jadi lebih deras keluar.
 
Terakhir, permasalahan transaksi finansial (hot money). Peredaran modal asing di Indonesia khususnya pasar keuangan, memang dinamis. Mereka pergi sesuka hati menyesuaikan negara mana yang menawarkan imbal hasil tinggi.
 
Di pasar saham sendiri, aksi jual investor asing lebih mendominasi. Akibatnya, tentu aliran valas lebih besar keluar dibandingkan yang bertahan. Sejak awal tahun, aliran modal asing yang keluar mencapai Rp 56,8 triliun.
 
Dengan kondisi aliran FDI kurang memberikan value added dan jumlah tenaga kerja asing yang besar, aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan semakin menambah tingginya minus dari komponen neraca pembayaran primer.


NEXT



 
Dari deskripsi masalah di atas, pemerintah perlu melakukan suatu terobosan. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan komponen tersebut? Salah satunya dengan mencetak lebih banyak wirausaha.
 
Saat ini, jumlah wirausaha yang ada di Indonesia hanya sekitar 3% dari jumlah penduduk yang mencapai 250 juta lebih. Angka ini lebih kecil dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura atau Thailand yang sekitar 4%.
 
Program mencetak pengusaha memang perlu lebih masif dilakukan pemerintah, terutama dalam hal kaitan permodalan hingga pembinaan usaha. Sebab masalah yang kerap ditemui para calon pengusaha, tidak jauh dari dua hal tersebut.
 
Sementara dari sisi TKA, pemerintah harus terus meningkatkan kemampuan para tenaga kerja dalam negeri terutama dari sisi kurikulum.
 
Presiden Jokowi sendiri telah mengupayakan optimalisasi pendidikan, utamanya dari sisi vokasi guna mencetak pekerja yang sesuai dengan permintaan industri.
 
Usaha tersebut nampaknya perlu diperluas hingga ke tingkat sarjana. Pasalnya, data Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi menunjukkan 8,8% dari jumlah pengangguran yang ada berstatus pendidikan sarjana.
 
Lalu dari sisi hot money, nampaknya hal sulit diatur. Meskipun pemerintah jor-joran memberikan insetif, namun hal ini jangan sampai memanjakan investor asing. Oleh karena itu, pemerintah mungkin bisa mengoptimalkan perbaikan dari sisi FDI maupun TKA guna memperbaiki komponen pendapatan primer.
 
Jika komponen tersebut membaik, maka bukan tidak mungkin kedepannya defisit transaksi berjalan bisa lebih baik.


TIM RISET CNBC INDONESIA
 
 
 
 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular