BI Tahan Bunga Acuan, Rupiah Masih Stagnan pada Penutupan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
23 October 2018 17:18
BI Tahan Bunga Acuan, Rupiah Masih Stagnan pada Penutupan
Foto: Infografis/Rupiah Loyo/Arie Pratama
Jakarta, CNBC IndonesiaNilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah tipis di perdagangan pasar spot hari ini. Melandainya pergerakan dolar AS di penghujung perdagangan, memberikan momentum rupiah bisa menipiskan pelemahannya.

Pada Selasa (23/10/2018), US$ 1 dibanderol pada level Rp 15.185 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,03% dibandingkan dengan penutupan perdagangan kemarin.

Saat pembukaan pasar spot hari ini, sebenarnya rupiah juga berada di level yang sama dengan penutupan, namun setelah itu terus melemah hingga menyentuh level US$ 15.212/US$ pada pukul 11.30 WIB.

Baru jelang akhir penutupan pasar, mata uang tanah air mampu menipiskan pelemahannya hingga kembali ke titik yang sama saat dibuka pada awal perdagangan tadi pagi.

Mata uang utama Asia sendiri cenderung bergerak variatif di hadapan dolar AS. Beberapa mata uang melemah lebih parah dibandingkan rupiah, seperti Ringgit Malaysia (-0,06%), Won Korsel (-0,37%), Baht Thailand (-0,18%), dan Dolar Taiwan (-0,15%).

Sebaliknya, beberapa mata uang malah bisa perkasa di hadapan greenback, misalnya Yuan China (+0,12%), Yen Jepang (+0,56%), dan Dolar Singapura (+0,12%).              

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:17 WIB:

Mata UangKursPerubahan (%)
USD/CNY6,93630,12
USD/HKD7,83910
USD/INR73,5550,01
USD/JPY112,170,56
USD/KRW1136,42-0,37
USD/MYR4,1615-0,06
USD/PHP53,7420,1
USD/SGD1,37810,12
USD/THB32,85-0,18
USD/TWD30,969-0,15

(NEXT)

Penguatan nilai tukar rupiah jelan akhir perdagangan tidak lepas dari pergerakan dolar AS yang mulai kehilangan tenaga. Sempat perkasa hingga tengah hari, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) malah melemah hingga 0,16% hingga pukul 16.30 WIB.

Sebelumnya indeks ini terus menguat hingga mencapai level 96,089, dan menjadi yang tertinggi sejak Agustus silam.

Greenback memang memanfaatkan situasi global yang kurang kondusif. Panasnya hubungan Washington-Riyadh serta masih adanya kendala di perundingan Brexit, membuat investor rama-ramai memburu instrumen safe haven seperti dolar AS dan yen Jepang.

Namun, selepas siang ini, dolar AS seolah-olah kehilangan tenaga untuk bisa lanjut menguat. Penguatan dolar AS yang terlalu kencang nampaknya menggoda investor merealisasikan keuntungannya. Wajar saja, dalam sepekan terakhir Dollar Index masih menguat di kisaran 1%.



Selain aksi profit taking, dolar AS juga nampaknya tertekan oleh penguatan Yuan China. Mata uang Negeri Panda mendapatkan sentimen positif dari pemerintah China yang berencana memotong tarif pajak pada tahun depan, langkah untuk mendorong kinerja perekonomian domestik. Nilai pemotongan tarif pajak ini diperkirakan mencapai 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) China. 

Sebagai catatan, PDB nominal China pada akhir 2018 diperkirakan sebesar US$ 13,2 triliiun (Rp 200.595 triliun). Satu persen dari angka itu adalah US$ 132 miliar (Rp 2.005 triliun). Nilai yang amat fantastis.

Ma Jun, Penasihat Bank Sentral China (PBoC) menyatakan stimulus pajak ini akan berdampak lebih besar ketimbang yang dilakukan AS.

Pada akhir 2017, Presiden AS Donald Trump memberlakukan pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) bagi orang pribadi dan badan usaha. Hasilnya sangat impresif, membuat perekonomian Negeri Paman Sam semakin kuat sehingga memaksa The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali sejak awal tahun.

Kombinasi penguatan yuan dan aksi ambil untung akhirnya memaksa dolar AS terperosok ke zona merah. Situasi ini lantas dimanfaatkan rupiah untuk bisa menipiskan pelemahannya di penghujung perdagangan hari ini.

(NEXT) Sayangnya, akibat sentimen kurang sedap dari dalam negeri, rupiah tidak bisa menguat banyak-banyak. Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5,75% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Oktober 2018.

Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, ada beberapa hal yang jadi pertimbangan keputusan tersebut.

Pertama, pelemahan rupiah yang masih stabil. Menurut BI, pelemahan rupiah rata-rata sebesar 2,7%. Sementara sejak awal tahun, depresiasi rupiah mencapai 10,65% lebih rendah dibandingkan negara emerging market lain seperti Brasil, India, Afrika Selatan dan Turki.

Kedua, inflasi masih terkendali. Selama dua bulan berturut-turut yaitu Agustus dan September, Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi.

Bersamaan dengan kondisi tersebut, inflasi bulan September tumbuh 2,88% Year-on-Year (YoY) lebih rendah dibandingkan Agustus yang mencapai 3,20% YoY. BI sendiri memperkirakan inflasi akan tetap terjaga sesuai sasaran di level 3,5% plus minus satu.

Ketiga, stabilitas sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang terjaga. Transaksi tunai dan non tunai tetap tumbuh positif.

Pertumbuhan nominal nilai besar yang diselesaikan melalui RTGS meningkat 0,70% YoY. Sementara, pertumbuhan non-tunai melalui sistem kliring tercatat 6,9% YoY. Di sisi lain, transaksi ritel debet kartu kredit dan uang elektronik tumbuh 9,4% pada Agustus 2018-10-23.

Berdasarkan ketiga hal tersebut, BI pun memutuskan untuk menahan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Kenaikan suku bunga acuan sejatinya menjadi amunisi bagi rupiah untuk bisa menguat, apalagi dalam menghadapi sikap The Fed yang cenderung masih hawkish di tahun ini.

Namun, dengan ditahannya suku bunga acuan, akhirnya rupiah pun tidak bisa menguat banyak-banyak. Pada akhir perdagangan, rupiah pun masih tercatat membukukan pelemahan, meski tipis saja.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular