4 Tahun Pemeritahan Jokowi-JK

Kuatkah Jokowinomics Jadi Jurus Menerjang Badai?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
22 October 2018 11:36
Peringkat Membaik, Sayangnya Rupiah Tidak
Foto: Ist
ApakahJokowinomics itu memberikan hasil yang positif bagi perekonomian?Jawabannya tentu saja: iya. Di tengah tekanan yang dialami perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terjaga di kisaran 5% meski sempat jatuh pada tahun 2015.

PENAMBAHAN NILAI PDB INDONESIA
TahunPDB (%)PDB (US$ M)Kenaikan
20175,071.01583
20165,02932,3672
20154,79860,85-30
20145,02890,81-22
20135,56912,52-5
20126,19917,8725
20116,44892,97138
20106,81755,09216
20094,63539,5829
20086,01510,2378
Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia

Di atas kertas, dunia mengakui adanya angin perubahan bersifat positif yang sedang dibawa oleh tim Jokowinomics. Berbagai peringkat Indonesia terus meningkat mulai dari peringkat investasi, daya saing, hingga kemudahan usaha.

Terbaru, Indonesia masuk ke posisi 45 di daftar Peringkat Daya Saing versi World Economic Forum (WEF). Dengan poin 64,9, Indonesia naik 2 level dari posisi 47 pada 2017. WEF menilai skor Indonesia membaik menyusul perbaikan konektivitas, plus budaya wirausaha yang kuat yang menjadi pertanda baik bagi daya saing negara ke depannya.

Di sisi lain, Bank Dunia dalam survei kemudahan berbisnis (ease of doing business) mendongkrak posisi Indonesia 19 tingkat, dari sebelumnya peringkat 91 menjadi peringkat 72. Hanya saja, Indonesia masih kalah dari Thailand (26), Malaysia (24), dan Vietnam (68). 

Hanya saja, di atas kertas Indonesia tengah menghadapi tantangan global yang bersifat jangka pendek, tetapi begitu penting untuk diatasi yakni volatilitas global yang berujung pada pelemahan rupiah.

Problem ini sangat penting diatasi karena keseimbangan moneter yang memburuk akibat risiko kurs yang tak terkendali pada akhirnya bisa memukul perekonomian. Kita telah melihat contohnya pada 1997. 

Ambisi infrastruktur (jalan tol dan pembangkit listrik) justru memicu kenaikan impor barang modal, yang kian memperburuk defisit neraca transaksi berjalan. Rupiah pun terpukul (anjlok 12% sepanjang tahun berjalan ini). Pertumbuhan ekonomi selama 3 tahun terakhir gagal mencapai yang dijanjikan, hanya berkutat sekitar 5%.

Di tengah kaburnya impian pertumbuhan ekonomi 7% seiring dengan kenaikan kurs dolar AS terhadap rupiah, pemerintah setahun terakhir mulai mengurangi laju ambisi fiskalnya, dengan menunda beberapa proyek infrastruktur demi mengurangi himpitan rupiah akibat impor barang modal. Target defisit APBN pun dipatok lebih rendah dari sebelumnya.

Akibat pelaksanaan Jokowinomics yang "ugal-ugalan", utang juga melonjak dari Rp 2.600 triliun (2014) menjadi Rp 4.416 triliun (September 2018) akibat ekspansi ekonomi yang sayangnya tak dibarengi kenaikan konsumsi rumah tangga (yang justru melambat dalam 4 tahun terakhir).

Belakangan, pemerintah mengoreksi kesalahan mereka sehingga sepanjang 2018 masih mencetak surplus Rp 11,6 triliun dalam keseimbangan primernya. Artinya, pemerintah tak sedang menggali lubang tutup lubang.

Selain itu, defisit anggaran sampai Agustus 2018 pun hanya Rp 150,7 triliun atau jauh lebih terkendali dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 224,9 triliun.

Tahun depan, APBN disusun dengan lebih "santun" tak lagi ugal-ugalan. Asumsi nilai tukar yang semula Rp 14.500/US$ menjadi Rp 15.000/US$ dalam RUU APBN 2019, dan defisit dibidik hanya 1,84%.

Bukan berarti Jokowinomics sudah tamat. Hanya saja, kita akan melihat wajah moderat Jokowinomics tahun depan dengan lebih banyak peluru fiskal ditembakkan ke demand side untuk menjaga daya beli, sembari mengerem supply side (proyek infrastruktur).

(ags/hps)

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular