4 Tahun Pemeritahan Jokowi-JK
Kuatkah Jokowinomics Jadi Jurus Menerjang Badai?
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
22 October 2018 11:36

Layaknya Reaganomics yang muncul di tengah optimisme tinggi perbaikan ekonomi AS setelah negara Adidaya itu diterpa stagflasi (angka pengangguran tinggi di tengah inflasi yang juga tinggi), Jokowinomics juga muncul dari optimisme.
Bedanya, Jokowinomics cenderung menjadi gimmick karena tak ada kondisi "keterpurukan" yang membuat perlunya gebrakan khusus guna membawa ekonomi Indonesia kembali bangkit.
Bedanya, Jokowinomics cenderung menjadi gimmick karena tak ada kondisi "keterpurukan" yang membuat perlunya gebrakan khusus guna membawa ekonomi Indonesia kembali bangkit.
Meski melambat (dari 6,81% pada 2010 menjadi 5,02 pada 2014) pertumbuhan ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari pertumbuhan dunia yang turun 0,4% menjadi 2,4%.
Gimmick (strategi pengemasan atau pemasaran politik) tersebut muncul lebih karena adanya eforia yang sangat besar usai terpilihnya Jokowi.
Pemimpin yang gemar blusukan ini memang menjanjikan lompatan dalam banyak hal, misalnya gimmick tentang pertumbuhan ekonomi yang bakal melesat 7% dan rupiah yang akan menguat ke level 10.000 per dolar AS.
Retorika swasembada bahan pokok (mulai dari beras, daging sapi, gula hingga garam) sempat mengemuka demi memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan mengurangi beban impor.
"Target kita dalam 3 tahun harus swasembada," ujar Jokowi di Istana Negara, Selasa (4/11/2014) beberapa saat setelah pelantikan.Namun, faktor pembeda memang ada.
Dibandingkan pendahulunya, tim Jokowi lebih persisten mengakselerasi pembangunan infrastruktur nasional, yang dimanifestasikan dalam dua program utama yakni Poros Maritim (membangun pelabuhan yang saling terkoneksi oleh kapal kargo dan penumpang) dan program listrik 35.000 megawatt (MW).
Selain itu, determinasi kuat juga terlihat dalam upaya Jokowi membenahi perizinan usaha guna mempercepat aliran investasi swasta nasional dan asing, mengingat perizinan yang berbelit memang saat itu menjadi persoalan utama dalam perspektif investor.
Sebagai konsekuensi dari determinasi dan persistensi Jokowi mewujudkan Jokowinomics-nya, pemerintah pun melancarkan strategi anggaran ekonomi ekspansif, dengan mempertahankan defisit dan realokasi pos subsidi ke pos yang lebih produktif seperti infrastruktur.
Sayangnya, risiko global yang mengintai pemerintahan Jokowi dan sudah terlihat sejak tahun 2015 tidak dimitigasi, yakni normalisasi suku bunga acuan Amerika Serikat (AS). Padahal, tim ekonomi Jokowi sudah memahami adanya risiko tersebut.
"Relatif ketatnya likuiditas global sebagai dampak peningkatan suku bunga acuan oleh the Fed diperkirakan berpotensi memberikan tekanan terhadap perkembangan nilai tukar rupiah ke depan," demikian tertulis dalam APBN-Perubahan 2015 yang diteken Jokowi.
Risiko itu bahkan tidak tertangkap dalam tim ekonomi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyusun APBN 2015 dengan hanya memasukkan empat risiko.
Tantangan Global (Versi Tim Ekonomi SBY)
1. Ketakpastian global akibat perlambatan dan krisis di berbagai negara
2. Gejolak harga komoditas di pasar global terutama minyak mentah
3. ASEAN Economic Community (AEC)
4. Agenda pembangunan global
Sumber: Ringkasan APBN 2015
Meski tim ekonomi Jokowi sudah melihat ada risiko kenaikan suku bunga acuan AS, yang bisa memukul rupiah, tim Jokowinomics tetap melenggang dengan program andalan mereka nan ambisius, yakni proyek infrastruktur.
Strategi fiskal ekstra-ekspansif diterapkan.Belanja pemerintah dinaikkan dalam besaran yang cukup besar, dari Rp 2.040 triliun (2015) menjadi Rp 2.096 triliun (2016), lalu menguat menjadi Rp 2.133 trilun (2017), naik lagi menjadi Rp 2.220 triliun (2018), dan terakhir menjadi Rp 2.440 triliun (2019).
Artinya, dalam 5 tahun terakhir, belanja negara melesat 19,6%, atau nyaris seperlima. Defisit APBN memang turun pada tahun pertama Jokowi meneken nota APBN, yakni dari 2,21% dalam APBN 2015 (yang diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), menjadi 1,9% dalam APBN-Perubahan 2015 yang diteken oleh Jokowi. Hanya saja, realisasinya membengkak!
Dalam 3 tahun terakhir, target defisit angaran terus naik dari 1,9% (2015) menjadi 2,41% (2017), semuanya dengan realisasi defisit lebih besar. Mengutip ekonom Faisal Basri, Jokowi cenderung "ugal-ugalan" dalam menyusun APBN pada 3 tahun pertama kepemimpinannya.
(ags/hps)
Pemimpin yang gemar blusukan ini memang menjanjikan lompatan dalam banyak hal, misalnya gimmick tentang pertumbuhan ekonomi yang bakal melesat 7% dan rupiah yang akan menguat ke level 10.000 per dolar AS.
Retorika swasembada bahan pokok (mulai dari beras, daging sapi, gula hingga garam) sempat mengemuka demi memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan mengurangi beban impor.
"Target kita dalam 3 tahun harus swasembada," ujar Jokowi di Istana Negara, Selasa (4/11/2014) beberapa saat setelah pelantikan.Namun, faktor pembeda memang ada.
Dibandingkan pendahulunya, tim Jokowi lebih persisten mengakselerasi pembangunan infrastruktur nasional, yang dimanifestasikan dalam dua program utama yakni Poros Maritim (membangun pelabuhan yang saling terkoneksi oleh kapal kargo dan penumpang) dan program listrik 35.000 megawatt (MW).
Selain itu, determinasi kuat juga terlihat dalam upaya Jokowi membenahi perizinan usaha guna mempercepat aliran investasi swasta nasional dan asing, mengingat perizinan yang berbelit memang saat itu menjadi persoalan utama dalam perspektif investor.
Sebagai konsekuensi dari determinasi dan persistensi Jokowi mewujudkan Jokowinomics-nya, pemerintah pun melancarkan strategi anggaran ekonomi ekspansif, dengan mempertahankan defisit dan realokasi pos subsidi ke pos yang lebih produktif seperti infrastruktur.
Sayangnya, risiko global yang mengintai pemerintahan Jokowi dan sudah terlihat sejak tahun 2015 tidak dimitigasi, yakni normalisasi suku bunga acuan Amerika Serikat (AS). Padahal, tim ekonomi Jokowi sudah memahami adanya risiko tersebut.
"Relatif ketatnya likuiditas global sebagai dampak peningkatan suku bunga acuan oleh the Fed diperkirakan berpotensi memberikan tekanan terhadap perkembangan nilai tukar rupiah ke depan," demikian tertulis dalam APBN-Perubahan 2015 yang diteken Jokowi.
Risiko itu bahkan tidak tertangkap dalam tim ekonomi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyusun APBN 2015 dengan hanya memasukkan empat risiko.
Tantangan Global (Versi Tim Ekonomi SBY)
1. Ketakpastian global akibat perlambatan dan krisis di berbagai negara
2. Gejolak harga komoditas di pasar global terutama minyak mentah
3. ASEAN Economic Community (AEC)
4. Agenda pembangunan global
Sumber: Ringkasan APBN 2015
Meski tim ekonomi Jokowi sudah melihat ada risiko kenaikan suku bunga acuan AS, yang bisa memukul rupiah, tim Jokowinomics tetap melenggang dengan program andalan mereka nan ambisius, yakni proyek infrastruktur.
Strategi fiskal ekstra-ekspansif diterapkan.Belanja pemerintah dinaikkan dalam besaran yang cukup besar, dari Rp 2.040 triliun (2015) menjadi Rp 2.096 triliun (2016), lalu menguat menjadi Rp 2.133 trilun (2017), naik lagi menjadi Rp 2.220 triliun (2018), dan terakhir menjadi Rp 2.440 triliun (2019).
Artinya, dalam 5 tahun terakhir, belanja negara melesat 19,6%, atau nyaris seperlima. Defisit APBN memang turun pada tahun pertama Jokowi meneken nota APBN, yakni dari 2,21% dalam APBN 2015 (yang diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), menjadi 1,9% dalam APBN-Perubahan 2015 yang diteken oleh Jokowi. Hanya saja, realisasinya membengkak!
Dalam 3 tahun terakhir, target defisit angaran terus naik dari 1,9% (2015) menjadi 2,41% (2017), semuanya dengan realisasi defisit lebih besar. Mengutip ekonom Faisal Basri, Jokowi cenderung "ugal-ugalan" dalam menyusun APBN pada 3 tahun pertama kepemimpinannya.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular