4 Tahun Pemeritahan Jokowi-JK

Kuatkah Jokowinomics Jadi Jurus Menerjang Badai?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
22 October 2018 11:36
Kuatkah Jokowinomics Jadi Jurus Menerjang Badai?
Foto: topik/jokowi jk topik kecil/Aristya rahadian krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Butuh empat tahun bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyadari bahwa janji, gagasan, dan program ambisius yang dilontarkan semasa kampanye-dalam skala tertentu-justru menjadi bumerang bagi perekonomian nasional.

Tahun ini, tahun 2018, menjadi titik balik di mana pemerintahan sekarang mengoreksi arah kebijakannya yang-mengutip ekonom Faisal Basri-sebelumnya "ugal-ugalan" hingga memperberat transaksi berjalan (current account) dan menekan rupiah.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dari program Nawacita Jokowi. Resep yang disusun oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini merupakan bentuk ikhtiar kebangsaan untuk menyelesaikan persoalan pelik yang bersifat multidimensional.

Dari sembilan komitmen politik tersebut, lima di antaranya terkait dengan program ekonomi, mulai dari reformasi birokrasi-di mana perizinan usaha termasuk di dalamnya, pemerataan pembangunan, kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas, dan kemandirian ekonomi.

Nawacita :
  1. Melindungi segenap bangsa dan membangun pertahanan negara
  2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya
  3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa
  4. Melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya
  5. Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong land reform, kepemilikan tanah seluas 9 hektar, dan jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019
  6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
  7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
  8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kembali kurikulum pendidikan nasional
  9. Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Sumber: PDI-P

Indonesia memang menghadapi persoalan pelik dalam struktur perekonomiannya, yang membuat aktivitas investasi terhambat, mulai dari perizinan, infrastruktur, pasokan energi, hingga logistik yang mahal. Problem ini membuat daya saing Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain sejenis di Kawasan.

Hal ini terlihat dari peringkat Indonesia dalam indeks Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) pada 2014 yang berada di level 184, masih kalah dari Filipina (171), Vietnam (162), Brunei Darussalam (122), Thailand (81), Malaysia (69), apalagi Singapura (64).

Untuk mengatasi persoalan itulah Jokowi mengeluarkan beberapa strategi ekonomi yang kemudian ditasbihkan oleh harian ekonomi Bisnis Indonesia sebagai Jokowinomics, meniru istilah Reaganomics yang disematkan oleh jaringan radio ABC di AS.

Dalam seminar Jokownomics tahun lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan ada tiga pilar utama dalam paradigma ekonomi Jokowi yakni pertama, pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan; kedua, penguatan permintaan (demand side); dan ketiga, pengentasan kemiskinan dan kebijakan afirmatif.

Di sisi pertumbuhan ekonomi, Jokowi menekankan penguatan ekspor dengan cara mencari pasar yang nontradisional dengan komoditas yang lebih bernilai tambah dan inovatif.

Faktor kedua, dia mengemukakan pemerintah juga memerhatikan pada sisi permintaan terutama terkait dengan daya beli.

Terkait pengentasan kemiskinan dan kebijakan afirmatif, Sri Mulyani menyebutkan bahwa pemerintah ingin membuat masyarakat berada pada level of playing field dan kesetaraan kesempatan salah satunya dengan pemerataan pembangunan infrastruktur untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah.
Layaknya Reaganomics yang muncul di tengah optimisme tinggi perbaikan ekonomi AS setelah negara Adidaya itu diterpa stagflasi (angka pengangguran tinggi di tengah inflasi yang juga tinggi), Jokowinomics juga muncul dari optimisme.

Bedanya, Jokowinomics cenderung menjadi gimmick karena tak ada kondisi "keterpurukan" yang membuat perlunya gebrakan khusus guna membawa ekonomi Indonesia kembali bangkit.

Meski melambat (dari 6,81% pada 2010 menjadi 5,02 pada 2014) pertumbuhan ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari pertumbuhan dunia yang turun 0,4% menjadi 2,4%.

Gimmick (strategi pengemasan atau pemasaran politik) tersebut muncul lebih karena adanya eforia yang sangat besar usai terpilihnya Jokowi.

Pemimpin yang gemar blusukan ini memang menjanjikan lompatan dalam banyak hal, misalnya gimmick tentang pertumbuhan ekonomi yang bakal melesat 7% dan rupiah yang akan menguat ke level 10.000 per dolar AS.

Retorika swasembada bahan pokok (mulai dari beras, daging sapi, gula hingga garam) sempat mengemuka demi memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan mengurangi beban impor.

"Target kita dalam 3 tahun harus swasembada," ujar Jokowi di Istana Negara, Selasa (4/11/2014) beberapa saat setelah pelantikan.Namun, faktor pembeda memang ada.

Dibandingkan pendahulunya, tim Jokowi lebih persisten mengakselerasi pembangunan infrastruktur nasional, yang dimanifestasikan dalam dua program utama yakni Poros Maritim (membangun pelabuhan yang saling terkoneksi oleh kapal kargo dan penumpang) dan program listrik 35.000 megawatt (MW).

Selain itu, determinasi kuat juga terlihat dalam upaya Jokowi membenahi perizinan usaha guna mempercepat aliran investasi swasta nasional dan asing, mengingat perizinan yang berbelit memang saat itu menjadi persoalan utama dalam perspektif investor.

Sebagai konsekuensi dari determinasi dan persistensi Jokowi mewujudkan Jokowinomics-nya, pemerintah pun melancarkan strategi anggaran ekonomi ekspansif, dengan mempertahankan defisit dan realokasi pos subsidi ke pos yang lebih produktif seperti infrastruktur.

Sayangnya, risiko global yang mengintai pemerintahan Jokowi dan sudah terlihat sejak tahun 2015 tidak dimitigasi, yakni normalisasi suku bunga acuan Amerika Serikat (AS). Padahal, tim ekonomi Jokowi sudah memahami adanya risiko tersebut.

"Relatif ketatnya likuiditas global sebagai dampak peningkatan suku bunga acuan oleh the Fed diperkirakan berpotensi memberikan tekanan terhadap perkembangan nilai tukar rupiah ke depan," demikian tertulis dalam APBN-Perubahan 2015 yang diteken Jokowi.

Risiko itu bahkan tidak tertangkap dalam tim ekonomi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyusun APBN 2015 dengan hanya memasukkan empat risiko.

Tantangan Global (Versi Tim Ekonomi SBY)
1. Ketakpastian global akibat perlambatan dan krisis di berbagai negara
2. Gejolak harga komoditas di pasar global terutama minyak mentah
3. ASEAN Economic Community (AEC)
4. Agenda pembangunan global

Sumber: Ringkasan APBN 2015

Meski tim ekonomi Jokowi sudah melihat ada risiko kenaikan suku bunga acuan AS, yang bisa memukul rupiah, tim Jokowinomics tetap melenggang dengan program andalan mereka nan ambisius, yakni proyek infrastruktur.

Strategi fiskal ekstra-ekspansif diterapkan.Belanja pemerintah dinaikkan dalam besaran yang cukup besar, dari Rp 2.040 triliun (2015) menjadi Rp 2.096 triliun (2016), lalu menguat menjadi Rp 2.133 trilun (2017), naik lagi menjadi Rp 2.220 triliun (2018), dan terakhir menjadi Rp 2.440 triliun (2019).

Artinya, dalam 5 tahun terakhir, belanja negara melesat 19,6%, atau nyaris seperlima. Defisit APBN memang turun pada tahun pertama Jokowi meneken nota APBN, yakni dari 2,21% dalam APBN 2015 (yang diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), menjadi 1,9% dalam APBN-Perubahan 2015 yang diteken oleh Jokowi. Hanya saja, realisasinya membengkak!

Dalam 3 tahun terakhir, target defisit angaran terus naik dari 1,9% (2015) menjadi 2,41% (2017), semuanya dengan realisasi defisit lebih besar. Mengutip ekonom Faisal Basri, Jokowi cenderung "ugal-ugalan" dalam menyusun APBN pada 3 tahun pertama kepemimpinannya. 
ApakahJokowinomics itu memberikan hasil yang positif bagi perekonomian?Jawabannya tentu saja: iya. Di tengah tekanan yang dialami perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terjaga di kisaran 5% meski sempat jatuh pada tahun 2015.

PENAMBAHAN NILAI PDB INDONESIA
TahunPDB (%)PDB (US$ M)Kenaikan
20175,071.01583
20165,02932,3672
20154,79860,85-30
20145,02890,81-22
20135,56912,52-5
20126,19917,8725
20116,44892,97138
20106,81755,09216
20094,63539,5829
20086,01510,2378
Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia

Di atas kertas, dunia mengakui adanya angin perubahan bersifat positif yang sedang dibawa oleh tim Jokowinomics. Berbagai peringkat Indonesia terus meningkat mulai dari peringkat investasi, daya saing, hingga kemudahan usaha.

Terbaru, Indonesia masuk ke posisi 45 di daftar Peringkat Daya Saing versi World Economic Forum (WEF). Dengan poin 64,9, Indonesia naik 2 level dari posisi 47 pada 2017. WEF menilai skor Indonesia membaik menyusul perbaikan konektivitas, plus budaya wirausaha yang kuat yang menjadi pertanda baik bagi daya saing negara ke depannya.

Di sisi lain, Bank Dunia dalam survei kemudahan berbisnis (ease of doing business) mendongkrak posisi Indonesia 19 tingkat, dari sebelumnya peringkat 91 menjadi peringkat 72. Hanya saja, Indonesia masih kalah dari Thailand (26), Malaysia (24), dan Vietnam (68). 

Hanya saja, di atas kertas Indonesia tengah menghadapi tantangan global yang bersifat jangka pendek, tetapi begitu penting untuk diatasi yakni volatilitas global yang berujung pada pelemahan rupiah.

Problem ini sangat penting diatasi karena keseimbangan moneter yang memburuk akibat risiko kurs yang tak terkendali pada akhirnya bisa memukul perekonomian. Kita telah melihat contohnya pada 1997. 

Ambisi infrastruktur (jalan tol dan pembangkit listrik) justru memicu kenaikan impor barang modal, yang kian memperburuk defisit neraca transaksi berjalan. Rupiah pun terpukul (anjlok 12% sepanjang tahun berjalan ini). Pertumbuhan ekonomi selama 3 tahun terakhir gagal mencapai yang dijanjikan, hanya berkutat sekitar 5%.

Di tengah kaburnya impian pertumbuhan ekonomi 7% seiring dengan kenaikan kurs dolar AS terhadap rupiah, pemerintah setahun terakhir mulai mengurangi laju ambisi fiskalnya, dengan menunda beberapa proyek infrastruktur demi mengurangi himpitan rupiah akibat impor barang modal. Target defisit APBN pun dipatok lebih rendah dari sebelumnya.

Akibat pelaksanaan Jokowinomics yang "ugal-ugalan", utang juga melonjak dari Rp 2.600 triliun (2014) menjadi Rp 4.416 triliun (September 2018) akibat ekspansi ekonomi yang sayangnya tak dibarengi kenaikan konsumsi rumah tangga (yang justru melambat dalam 4 tahun terakhir).

Belakangan, pemerintah mengoreksi kesalahan mereka sehingga sepanjang 2018 masih mencetak surplus Rp 11,6 triliun dalam keseimbangan primernya. Artinya, pemerintah tak sedang menggali lubang tutup lubang.

Selain itu, defisit anggaran sampai Agustus 2018 pun hanya Rp 150,7 triliun atau jauh lebih terkendali dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 224,9 triliun.

Tahun depan, APBN disusun dengan lebih "santun" tak lagi ugal-ugalan. Asumsi nilai tukar yang semula Rp 14.500/US$ menjadi Rp 15.000/US$ dalam RUU APBN 2019, dan defisit dibidik hanya 1,84%.

Bukan berarti Jokowinomics sudah tamat. Hanya saja, kita akan melihat wajah moderat Jokowinomics tahun depan dengan lebih banyak peluru fiskal ditembakkan ke demand side untuk menjaga daya beli, sembari mengerem supply side (proyek infrastruktur).


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular