
Harga Batu Bara Koreksi 3,91% Pekan Lalu, Ini Alasannya
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
15 October 2018 15:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak acuan anjlok sebesar 3,91% secara point-to-point di sepanjang pekan lalu, dengan mengakhiri pekan di level US$ 109,2/Metrik Ton (MT).
Harga si batu hitam bahkan sempat melemah secara 8 hari berturut-turut hingga perdagangan hari Kamis (11/10/2018), sekaligus menyentuh level terendahnya dalam 4,5 bulan terakhir, atau sejak akhir 2018.
Baru pada perdagangan hari Jumat (12/10/2018), harganya akhirnya berhasil menguat meskipun cenderung terbatas, yakni di kisaran 0,46%. Akan tetapi, secara keseluruhan kenaikan di akhir pekan itu tidak mampu menyelamatkan performa mingguan komoditas ini.
Berbagai macam sentimen negatif memang menjadi pemberat harga batu bara di sepanjang pekan lalu. Pertama, pemerintah China memutuskan untuk membatasi impor batu bara lebih jauh di sepanjang tahun 2018 ini, mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters.
Impor batu bara di sepanjang tahun 2018 ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017, dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini.
China mengimpor 199,92 juta ton batu bara pada periode Januari-Agustus 2018, atau 27,86 juta ton lebih banyak dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Artinya, Negeri Panda kini hanya punya jatah impor sebesar 63,03 juta ton untuk September-Desember 2018.
Secara rata-rata, jatah impor batu bara China "hanya" 15,76 juta ton per bulan hingga penghujung tahun ini, atau 7 juta ton lebih sedikit rata-rata impor bulanan pada 2017. Mengingat China adalah importir batu bara terbesar dunia, sentimen seretnya permintaan dari Beijing jelas menekan harga batu bara dunia.
Kedua, bursa saham Asia yang berguguran. Sepanjang pekan lalu, Indeks Nikkei amblas 4,58%, indeks Strait Times jatuh 4,38%, indeks KLCI (Malaysia) terkoreksi 2,61%, indeks SET (Thailand) melemah 1,42%, indeks Kospi anjlok 4,66%, indeks Shanghai minus 7,60%, dan indeks Hang Seng minus 2,9%.
Bursa saham Benua Kuning yang kebakaran lantas menjadi persepsi yang dapat mengancam keyakinan bisnis dan investasi secara global. Akibatnya, pelaku pasar juga menunda berinvestasi di komoditas batu bara pada perdagangan kemarin.
Ketiga, persepsi penurunan permintaan ke depan juga muncul akibat proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
IMF menyebutkan faktor utama penyebab perlambatan ekonomi global adalah perang dagang AS vs China. Perang dagang diperkirakan akan mengganggu rantai pasok global. Hal ini semakin mempertegas bahwa permintaan energi dunia (termasuk batu bara) akan menipis. Akibatnya, harga batu bara tenggelam semakin dalam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/roy) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Harga si batu hitam bahkan sempat melemah secara 8 hari berturut-turut hingga perdagangan hari Kamis (11/10/2018), sekaligus menyentuh level terendahnya dalam 4,5 bulan terakhir, atau sejak akhir 2018.
Baru pada perdagangan hari Jumat (12/10/2018), harganya akhirnya berhasil menguat meskipun cenderung terbatas, yakni di kisaran 0,46%. Akan tetapi, secara keseluruhan kenaikan di akhir pekan itu tidak mampu menyelamatkan performa mingguan komoditas ini.
Berbagai macam sentimen negatif memang menjadi pemberat harga batu bara di sepanjang pekan lalu. Pertama, pemerintah China memutuskan untuk membatasi impor batu bara lebih jauh di sepanjang tahun 2018 ini, mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters.
Impor batu bara di sepanjang tahun 2018 ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017, dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini.
China mengimpor 199,92 juta ton batu bara pada periode Januari-Agustus 2018, atau 27,86 juta ton lebih banyak dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Artinya, Negeri Panda kini hanya punya jatah impor sebesar 63,03 juta ton untuk September-Desember 2018.
Secara rata-rata, jatah impor batu bara China "hanya" 15,76 juta ton per bulan hingga penghujung tahun ini, atau 7 juta ton lebih sedikit rata-rata impor bulanan pada 2017. Mengingat China adalah importir batu bara terbesar dunia, sentimen seretnya permintaan dari Beijing jelas menekan harga batu bara dunia.
Kedua, bursa saham Asia yang berguguran. Sepanjang pekan lalu, Indeks Nikkei amblas 4,58%, indeks Strait Times jatuh 4,38%, indeks KLCI (Malaysia) terkoreksi 2,61%, indeks SET (Thailand) melemah 1,42%, indeks Kospi anjlok 4,66%, indeks Shanghai minus 7,60%, dan indeks Hang Seng minus 2,9%.
Bursa saham Benua Kuning yang kebakaran lantas menjadi persepsi yang dapat mengancam keyakinan bisnis dan investasi secara global. Akibatnya, pelaku pasar juga menunda berinvestasi di komoditas batu bara pada perdagangan kemarin.
Ketiga, persepsi penurunan permintaan ke depan juga muncul akibat proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
IMF menyebutkan faktor utama penyebab perlambatan ekonomi global adalah perang dagang AS vs China. Perang dagang diperkirakan akan mengganggu rantai pasok global. Hal ini semakin mempertegas bahwa permintaan energi dunia (termasuk batu bara) akan menipis. Akibatnya, harga batu bara tenggelam semakin dalam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/roy) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular