Inilah Lima Sentimen Utama Penggerak Pasar Pekan Depan

14 October 2018 20:00
Inilah Lima Sentimen Utama Penggerak Pasar Pekan Depan
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan ini sukses berada di jalur hijau dengan menguat 0,43% ke 5.756 berkat aksi beli investor domestik, meski rupiah tertekan hingga sempat menyentuh Rp 15.250 per dolar Amerika Serikat (AS).

Pada pekan depan, kami memperkirakan perhatian pelaku pasar akan banyak terfokus ke data ekonomi yang berhamburan dari luar negeri, terutama dari AS yang memengaruhi sentimen pelaku pasar global, termasuk di Indonesia.

Sentimen pertama, dan yang terpenting dari dalam negeri, muncul pada awal pekan dengan pengumuman data neraca perdagangan September. Defisit neraca perdagangan diprediksi menyusut sehingga mengurangi tekanan terhadap rupiah.

Konsensus CNBC Indonesia memperkirakan pemerintah masih mencatat defisit perdagangan US$600 juta pada September, sedangkan Reuters memperkirakan US$500 juta. Angka tersebut membaik dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang berada di level US$1,02 miliar.

Selain itu juga akan diumumkan data penjualan mobil nasional dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Tahun ini, asosiasi tersebut menargetkan penjualan 1,1 juta unit mobil. Hingga Agustus, penjualan mobil tercatat di angka 763.458 unit.

Untuk mencapai target tersebut, penjualan mobil dalam 4 bulan terakhir tahun ini harus berada di atas 84.000 unit per bulannya. Ini akan jadi sentimen kedua yang layak diperhatikan. Jika penjualan September naik melampaui angka tersebut, target 2018 kian berpeluang tercapai.

Kabar ketiga dari Uni Eropa terkait dengan data inflasi September, yang secara tahunan diperkirakan naik 2,1%, atau sedikit lebih tinggi dari posisi September 2017 sebesar 2%. Secara bulanan, inflasi juga diperkirakan lebih tinggi yakni 0,3%, dari posisi Agustus sebesar 0,2%.

Kenaikan inflasi akan mendorong ECB untuk menaikkan suku bunga acuannya yang membuat pasar surat utang Eropa berpeluang diburu dan memberikan sedikit tekanan terhadap pasar modal nasional.

NEXT

Sentimen keempat muncul dari AS mengenai keberlanjutan pertumbuhan ekonomi mereka, dengan mengacu pada beberapa dari perekonomian yang akan dirilis. AS akan merilis penjualan ritel (non-otomotif) September.

Menurut polling Reuters, penjualan ritel AS akan tumbuh 0,4% secara bulanan (MTM), naik dari Agustus 0,3%. Di sisi lain, secara tahunan diperkirakan tumbuh 0,6% atau lebih tinggi dari September 2017 di 0,1%.

Kenaikan penjualan ritel mengindikasikan konsumsi masyarakat AS membaik sehingga perekonomian negara itu kian tumbuh. Pada ujungnya, ekspektasi pun menguat terkait kenaikan tambahan suku bunga acuan AS setidaknya sekali lagi tahun ini.

Kondisi pemulihan tersebut bakal kian terkonfirmasi menyusul rilis data awal klaim tunjangan pengangguran yang diperkirakan hanya 212.000, atau lebih sedikit dari posisi sebelumnya 214.000 klaim. Ini mengindikasikan bahwa pengangguran baru di negara tersebut menurun.

Meski demikian, data produksi industri AS per September berpeluang membagikan sentimen yang kurang menyenangkan. Data produksi industri AS menggabungkan antara produksi sektor manufaktur, jasa dan utilitas.

Polling Reuters memperkirakan kenaikan sebesar 0,2%, atau hanya separuh dari posisi sebelumnya sebesar 0,4%. Secara tahunan, pertumbuhan produksi industri AS diperkirakan melambat ke 3,5%, dari posisi September 2017 sebesar 4,9%.

Capaian ini terhitung rendah karena secara historis pertumbuhan keluaran industri AS berada pada level 3,73% (1920-2018). Artinya, pertumbuhan ekonomi AS yang ditopang dari sisi konsumsi masyarakat belum cukup berkelanjutan karena sektor usaha masih tertekan.

Di tengah sentimen AS yang mixed tersebut, pelaku pasar akan melihat data ekonomi di China sebagai sentimen kelima yang bisa memengaruhi pergerakan bursa. Terutama, inflasi China (September) yang dirilis Selasa.

Secara bulanan, laju inflasi diperkirakan melambat ke 0,3% dari posisi Agustus 0,7%.
Artinya, inflasi China sedikit melemah, yang mengindikasikan menurunnya aktivitas ekonomi.

Penurunan itu bakal kian terkonfirmasi pada Kamis ketika Negeri Tirai Bambu mengumumkan data penjualan ritel (September). Konsensus pasar memprediksi pertumbuhan sebesar 8,5%, atau lebih rendah dari Agustus (9%).


Pada hari perdagangan terakhir pekan depan, China juga akan melaporkan pertumbuhan ekonomi (triwulan III). Pasar memperkirakan pertumbuhan sebesar 1,5% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (1,8%).

Laju pertumbuhan ekonomi yang melambat ini juga diprediksi terbaca secara tahunan, di mana PDB China diprediksi hanya tumbuh 6,6% dibandingkan dengan kuartal tiga tahun lalu sebesar 6,7%.

Ini akan menjadi sentiman negatif bagi pelaku pasar di penghujung pekan yang bisa berimbas pada koreksi bursa Indonesia mengingat China adalah mitra dagang utama kita.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular