
Inilah Lima Sentimen Utama Penggerak Pasar Pekan Depan
14 October 2018 20:00

Sentimen keempat muncul dari AS mengenai keberlanjutan pertumbuhan ekonomi mereka, dengan mengacu pada beberapa dari perekonomian yang akan dirilis. AS akan merilis penjualan ritel (non-otomotif) September.
Menurut polling Reuters, penjualan ritel AS akan tumbuh 0,4% secara bulanan (MTM), naik dari Agustus 0,3%. Di sisi lain, secara tahunan diperkirakan tumbuh 0,6% atau lebih tinggi dari September 2017 di 0,1%.
Kenaikan penjualan ritel mengindikasikan konsumsi masyarakat AS membaik sehingga perekonomian negara itu kian tumbuh. Pada ujungnya, ekspektasi pun menguat terkait kenaikan tambahan suku bunga acuan AS setidaknya sekali lagi tahun ini.
Kondisi pemulihan tersebut bakal kian terkonfirmasi menyusul rilis data awal klaim tunjangan pengangguran yang diperkirakan hanya 212.000, atau lebih sedikit dari posisi sebelumnya 214.000 klaim. Ini mengindikasikan bahwa pengangguran baru di negara tersebut menurun.
Meski demikian, data produksi industri AS per September berpeluang membagikan sentimen yang kurang menyenangkan. Data produksi industri AS menggabungkan antara produksi sektor manufaktur, jasa dan utilitas.
Polling Reuters memperkirakan kenaikan sebesar 0,2%, atau hanya separuh dari posisi sebelumnya sebesar 0,4%. Secara tahunan, pertumbuhan produksi industri AS diperkirakan melambat ke 3,5%, dari posisi September 2017 sebesar 4,9%.
Capaian ini terhitung rendah karena secara historis pertumbuhan keluaran industri AS berada pada level 3,73% (1920-2018). Artinya, pertumbuhan ekonomi AS yang ditopang dari sisi konsumsi masyarakat belum cukup berkelanjutan karena sektor usaha masih tertekan.
Di tengah sentimen AS yang mixed tersebut, pelaku pasar akan melihat data ekonomi di China sebagai sentimen kelima yang bisa memengaruhi pergerakan bursa. Terutama, inflasi China (September) yang dirilis Selasa.
Secara bulanan, laju inflasi diperkirakan melambat ke 0,3% dari posisi Agustus 0,7%. Artinya, inflasi China sedikit melemah, yang mengindikasikan menurunnya aktivitas ekonomi.
Penurunan itu bakal kian terkonfirmasi pada Kamis ketika Negeri Tirai Bambu mengumumkan data penjualan ritel (September). Konsensus pasar memprediksi pertumbuhan sebesar 8,5%, atau lebih rendah dari Agustus (9%).
Pada hari perdagangan terakhir pekan depan, China juga akan melaporkan pertumbuhan ekonomi (triwulan III). Pasar memperkirakan pertumbuhan sebesar 1,5% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (1,8%).
Laju pertumbuhan ekonomi yang melambat ini juga diprediksi terbaca secara tahunan, di mana PDB China diprediksi hanya tumbuh 6,6% dibandingkan dengan kuartal tiga tahun lalu sebesar 6,7%.
Ini akan menjadi sentiman negatif bagi pelaku pasar di penghujung pekan yang bisa berimbas pada koreksi bursa Indonesia mengingat China adalah mitra dagang utama kita.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
Menurut polling Reuters, penjualan ritel AS akan tumbuh 0,4% secara bulanan (MTM), naik dari Agustus 0,3%. Di sisi lain, secara tahunan diperkirakan tumbuh 0,6% atau lebih tinggi dari September 2017 di 0,1%.
Kenaikan penjualan ritel mengindikasikan konsumsi masyarakat AS membaik sehingga perekonomian negara itu kian tumbuh. Pada ujungnya, ekspektasi pun menguat terkait kenaikan tambahan suku bunga acuan AS setidaknya sekali lagi tahun ini.
Meski demikian, data produksi industri AS per September berpeluang membagikan sentimen yang kurang menyenangkan. Data produksi industri AS menggabungkan antara produksi sektor manufaktur, jasa dan utilitas.
Polling Reuters memperkirakan kenaikan sebesar 0,2%, atau hanya separuh dari posisi sebelumnya sebesar 0,4%. Secara tahunan, pertumbuhan produksi industri AS diperkirakan melambat ke 3,5%, dari posisi September 2017 sebesar 4,9%.
Capaian ini terhitung rendah karena secara historis pertumbuhan keluaran industri AS berada pada level 3,73% (1920-2018). Artinya, pertumbuhan ekonomi AS yang ditopang dari sisi konsumsi masyarakat belum cukup berkelanjutan karena sektor usaha masih tertekan.
Di tengah sentimen AS yang mixed tersebut, pelaku pasar akan melihat data ekonomi di China sebagai sentimen kelima yang bisa memengaruhi pergerakan bursa. Terutama, inflasi China (September) yang dirilis Selasa.
Secara bulanan, laju inflasi diperkirakan melambat ke 0,3% dari posisi Agustus 0,7%. Artinya, inflasi China sedikit melemah, yang mengindikasikan menurunnya aktivitas ekonomi.
Penurunan itu bakal kian terkonfirmasi pada Kamis ketika Negeri Tirai Bambu mengumumkan data penjualan ritel (September). Konsensus pasar memprediksi pertumbuhan sebesar 8,5%, atau lebih rendah dari Agustus (9%).
Pada hari perdagangan terakhir pekan depan, China juga akan melaporkan pertumbuhan ekonomi (triwulan III). Pasar memperkirakan pertumbuhan sebesar 1,5% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (1,8%).
Laju pertumbuhan ekonomi yang melambat ini juga diprediksi terbaca secara tahunan, di mana PDB China diprediksi hanya tumbuh 6,6% dibandingkan dengan kuartal tiga tahun lalu sebesar 6,7%.
Ini akan menjadi sentiman negatif bagi pelaku pasar di penghujung pekan yang bisa berimbas pada koreksi bursa Indonesia mengingat China adalah mitra dagang utama kita.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular