Instrumen Keuangan di Indonesia kurang Seksi, Benarkah?

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
10 October 2018 13:35
Instrumen Keuangan di Indonesia kurang Seksi, Benarkah?
Foto: Infografis/Simpanan Dolar/Edward Ricardo
Jakarta, CNBC Indonesia-Instrumen produk keuangan di Indonesia, dewasa ini masih kurang mendapat apresiasi lebih di kalangan masyarakat Indonesia.

Menurut Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah, rasio Dana Pihak Ketiga (DPK) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya mencapai 40%.

Angka ini masih kalah dibandingkan Malaysia di kisaran 70% dan Thailand yang di atas 100%. Bahkan menurut halim, selama 20 tahun terakhir sulit menembus rasio di atas 40%. Sebenarnya, bagaimana perkembangan DPK di Indonesia ?



Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode Juli 2014- Juli 2018, DPK terus bergerak naik. Pada tahun ini, DPK tumbuh 6,8% Year-on-Year (YoY). Angka ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan Juli 2016-Juli 2017 mencapai 9,7%.

Perlambatan ini seakan jadi tanda jika masyarakat Indonesia mulai beralih ke instrumen lain termasuk saham. Untuk membuktikannya, mari kita lihat pergerakan instrumen tersebut.

Sejak awal tahun, aksi beli oleh investor domestik rupanya lebih tinggi dibandingkan aksi jual. Sejak awal tahun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat aksi beli bersih sebesar Rp 54,54 triliun. Lalu, kemana lagi aliran uang masyarakat Indonesia? Menurut halim, mayoritas masyarakat Indonesia justru lebih memilih investasi di non-finansial. Apakah hal itu benar? Mari kita ambil salah satu instrumen di sektor tersebut, sebut saja properti.

Berdasarkan survei Bank Indonesia (BI) pada triwulan II-2018, permintaan terhadap properti komersial mencapai 1,98% YoY. Angka ini lebih tinggi dibandingkan triwulan I yang hanya sebesar 1,92% YoY. Saat ini tren kepemilikan rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, namun juga investasi.

Berdasarkan survei tim Business Intelligent Rumah123, para milenial di kota besar cenderung memposisikan diri sebagai investor saat membeli rumah. Data memperlihatkan 60,32% kaum milenial pada rentang usia 22-28 tahun mencari properti sebagai investasi.

Sementara di rentang 29-35 tahun, hampir 75% memandang properti sebagai investasi. Ini setidaknya menjadi gambaran, jika peralihan investasi dari masyarakat Indonesia tidak hanya terfokus hanya aset keuangan semata. Lantas, apakah ini memberikan dampak buruk bagi industri perbankan di Indonesia ?

(NEXT)



Pertimbangan seseorang dalam memilih produk investasi, salah satunya soal pajak yang dikenakan. MisaBerdasarkan regulasi yang ada di  Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, bunga dari deposito dan tabungan dikenakan pajak sebesar 20%.
 
Sementara di negara ASEAN lain, pajak deposito yang dikenakan lebih rendah di rentang 2-4%.  Kondisi ini yang menjadi pertimbangan masyarakat Indonesia memilih perbankan luar negeri sebagai tempat penyimpanan dananya.
 
Sebenarnya pemerintah telah menerbitkan paket kebijakan ekonomi terkait penurunan pajak deposito bagi Dana Hasil Ekspor (DHE) yang ditaruh di perbankan Indonesia. DHE disimpan dalam bentuk deposito 1 bulan, tarifnya akan diturunkan 10 persen, 3 bulan maka menjadi 7,5 persen, 6 bulan menjadi 2,5 persen dan di atas 6 bulan 0 persen.
 
Aturan ini sebenarnya cukup baik. Akan tetapi, pemerintah bersama BI juga perlu merumuskan besaran pajak bagi dana masyarakat yang ditaruh pada produk perbankan. Besaran pajak sebesar 20% sepertinya jadi pertimbangan.
 
Jika saja bisa menurunkan angka tersebut, bukan tidak mungkin minat masyarakat menginvestasikan dananya di aset keuangan ikut tumbuh.  Jika DPK tumbuh, tentu bisa memperbesar kontribusi perbankan dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat karena likuiditas yang melimpah.
 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular