Harus Diakui, Indonesia Memang Selalu Manjakan Investor Asing

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
09 October 2018 14:00
Harus Diakui, Indonesia Memang Selalu Manjakan Investor Asing
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Perlakuan khusus Indonesia terhadap Singapura terkait pembebasan pajak ganda atas penghasilan atau tax treaty menjadi dilema tersendiri.

Kesepakatan yang ditekan pada 8 Mei 1990 atau sekitar 28 tahun lalu, membebaskan bank atau broker dari Singapura dari potensi pajak ganda akibat pembelian instrumen derivatif di Indonesia seperti Surat Berharga Negara (SBN).  

Bagaikan anak kesayangan, perlakukan ini sangat memanjakan bagi negara yang terkenal dengan ikon Singa Merlion tersebut.  




Menurut Direktur Eksekutif MUC Tax research Institute Wahyu Nuryanto, kebijakan ini akan menguntungkan pasar keuangan Singapura. Pasalnya potensi investor asing termasuk Indonesia masuk ke negara tersebut cukup besar.  

"Dalam Tax Treaty RI-Singapura, tepatnya di Pasal 11 ayat 3, berlaku ketentuan yang membebaskan pajak atas imbalan bunga obligasi negara. Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi pemegang SBN Indonesia di Singapura" Ujar Wahyu kepada tim CNBC Indonesia.  

Mari kita lihat data kepemilikan asing di SBN berdasarkan data yang dikeluarkan oleh kementerian keuangan Sejak 2003 hingga Oktober 2018. 



Sejak 2003-Oktober 2018, perkembangan kepemilikan asing di SBN cukup pesat. Dari hanya 0,48 % hingga 36,89%. Perkembangan paling signifikan terlihat di Desember 2005-2006 dan 2009-2010, dimana kepemilikan asing naik hingga dua kali lipat. Sementara sejak 2010, porsi kepemilikan bertahan di atas 30%. 



Pertumbuhan kepemilikan asing juga berdampak kepada pemilik mayoritas SBN. Per 5 Oktober 2018, porsi asing telah mencapai 36,98% atau tertinggi dibandingkan investor lain seperti asuransi hingga reksadana. Investor individu atau dikategorikan ritel hanya berkontribusi sekitar 2,8% atau paling kecil di antara jenis investor lain.  

Dampak dari tax treaty setidaknya bisa terlihat dari gambaran ini, dimana kepemilikan asing meningkat pesat. Bahkan menurut salah seorang pejabat negara yang enggan disebutkan namanya mengatakan, kebanyakan peminat SBN ini berasal dari Singapura.

 "Banyak pula investor asing yang hanya mencari return jangka pendek ini ada di SBN. Justru kebanyakan berasal dari Singapura. Mereka ini sebenarnya investor lokal yang menggunakan celah tax treaty dengan Singapura," ungkapnya. 

Ketika investor asing dimanjakan, namun tidak bagi investor ritel dalam negeri. Berdasarkan dua aturan yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 2009 tentang PPh atas penghasilan berupa bunga obligasi dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)-07/PMK.11/2012 tentang tata cara pemotongan bunga obligasi, investor dalam negeri dikenakan PPh obligasi sekitar 15%.  

Merujuk pendapat di atas, kehadiran tax treaty memang jadi cara bagi investor Indonesia menghindari pajak tersebut. Namun yang jadi masalah, yang tercatat jadi investor adalah para bank dan sekuritas di Singapura.  

Artinya jelas, perusahaan-perusahaan Singapura mendapatkan dua keuntungan yaitu aliran modal yang masuk dan bunga dari obligasi tanpa kena pajak.

(NEXT)


Bukannya mendiskriminasi investor asing, akan tetapi risiko yang dihadapi jika terjadi guncangan eksternal cukup membahayakan perekonomian Indonesia.
 
Ketika kondisi ekonomi global kurang kondusif, investor asing cenderung melepas kepemilikannya. Ketika hal itu terjadi di Indonesia, maka kondisi pasar keuangan jadi kurang stabil.
 
Oleh karena itu, untuk meminimalisir dampak dari dominannya investor asing maka pemerintah perlu mengoptimalkan investor ritel.
 
Jika merujuk porsi kepemilikan investor ritel di SBN per 5 Oktober 2018 hanya Rp 64 triliun.
 
Sekiranya kita menggunakan asumsi Jumlah penduduk produktif di Indonesia dari umur 20-54 tahun di tahun 2018, ada sekitar 67,8 juta jiwa. Andai satu orang berinvestasi Rp 5 juta, maka akan terkumpul Rp 339 triliun. Angka ini hampir setengah dari total kepemilikan asing yang mencapai Rp 849,79 triliun
 
Lantas, apa yang diperlukan untuk mendorong semakin banyak investor ritel ? Sejauh ini, pemerintah telah menerbitkan produk obligasi/sukuk ritel hingga beberapa seri. Banyak produk masih kurang, investor membutuhkan insentif lain seperti keringanan pajak dari bunga obligasi.
 
Mungkin Indonesia bisa mencontoh jepang, dalam mendorong masyarakatnya dari saving society jadi investment society. Di Negeri Sakura, aturan terkait pajak cukup memanjakan investor ritel.
 
Bagaimana tidak, pemerintah setempat membebaskan pajak bagi investor yang membeli instrumen seperti saham hingga Rp 150 juta. Sementara jika kita merujuk di Indonesia, dikenakan PPh final sekitar 10%.
 
Merujuk hal tersebut, mungkin ada baiknya pemerintah menghapus pajak bagi investor ritel guna merangsang pertumbuhan investasi dalam negeri. Secara bertahan besaran pajak dapat dikurangi, hingga akhirnya 0%.
 
Katakanlah, jika membeli obligasi ritel hingga Rp 50 juta akan dibebaskan pajak, maka bisa jadi daya tarik tersendiri. Maka dari itu, sudah saatnya pemerintah memanjakan masyarakat sendiri, bukan investor asing !
  
 
TIM RISET CNBC INDONESIA


 
 
 
 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular