Masih Sayang Rupiah? Naikkan Harga BBM!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 October 2018 16:06

Sudah sejak lama Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai yaitu defisit di transaksi berjalan (current account). Indonesia tekor dalam hal ekspor-impor barang dan jasa, lebih banyak devisa yang keluar dibandingkan yang masuk. Akibatnya rupiah kekurangan pijakan untuk menguat.
Beban paling berat di transaksi berjalan adalah neraca migas. Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit US$ 8,03 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 2,75 miliar atau 34,23% disumbang oleh defisit di neraca migas.
Ke depan, defisit neraca migas berpotensi membengkak karena harga minyak dunia yang semakin mahal. Pada pukul 15:19 WIB, harga minyak jenis brent tercatat US$ 86,19/barel. Ini merupakan yang tertinggi sejak 2014.
Potensi harga minyak untuk terus naik masih cukup besar karena kian dekatnya pemberlakuan sanksi baru AS kepada Iran yaitu pada 4 November. Saat itu, Iran akan sulit mengekspor minyaknya karena blokade Negeri Adidaya.
Pasokan minyak dari Iran akan absen di pasar dunia sementara Negeri Persia adalah produsen minyak terbesar ketiga di antara anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Artinya, ketidakhadiran Iran akan sangat mempengaruhi pasokan minyak di pasar global.
Dengan status Indonesia sebagai negara net importir migas, harga minyak yang kian mahal tentu akan memberatkan. Nilai impor akan membengkak padahal volume yang diimpor mungkin tidak naik.
Idealnya memang Indonesia perlu menambah pasokan minyak di dalam negeri agar tidak terlalu bergantung kepada impor. Eksplorasi sumur-sumur minyak baru, peningkatan produksi dengan metode Enhanced Oil Recovery (EOR), sampai membangun fasilitas kilang dan penyimpanan (storage) agar impor Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa ditekan.
Namun langkah-langkah itu perlu waktu, tenaga, dan tentunya biaya. Bahkan mungkin membutuhkan impor bahan baku dan barang modal sehingga tekanan di transaksi berjalan malah bertambah.
Kalau dari sisi hulu agak berat, maka caranya adalah dari hilir yaitu mengendalikan permintaan. Ketika permintaan terhadap minyak dan BBM turun, impor pun bisa dikurangi.
(aji/gus)
Beban paling berat di transaksi berjalan adalah neraca migas. Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit US$ 8,03 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 2,75 miliar atau 34,23% disumbang oleh defisit di neraca migas.
Ke depan, defisit neraca migas berpotensi membengkak karena harga minyak dunia yang semakin mahal. Pada pukul 15:19 WIB, harga minyak jenis brent tercatat US$ 86,19/barel. Ini merupakan yang tertinggi sejak 2014.
Pasokan minyak dari Iran akan absen di pasar dunia sementara Negeri Persia adalah produsen minyak terbesar ketiga di antara anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Artinya, ketidakhadiran Iran akan sangat mempengaruhi pasokan minyak di pasar global.
Dengan status Indonesia sebagai negara net importir migas, harga minyak yang kian mahal tentu akan memberatkan. Nilai impor akan membengkak padahal volume yang diimpor mungkin tidak naik.
Idealnya memang Indonesia perlu menambah pasokan minyak di dalam negeri agar tidak terlalu bergantung kepada impor. Eksplorasi sumur-sumur minyak baru, peningkatan produksi dengan metode Enhanced Oil Recovery (EOR), sampai membangun fasilitas kilang dan penyimpanan (storage) agar impor Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa ditekan.
Namun langkah-langkah itu perlu waktu, tenaga, dan tentunya biaya. Bahkan mungkin membutuhkan impor bahan baku dan barang modal sehingga tekanan di transaksi berjalan malah bertambah.
Kalau dari sisi hulu agak berat, maka caranya adalah dari hilir yaitu mengendalikan permintaan. Ketika permintaan terhadap minyak dan BBM turun, impor pun bisa dikurangi.
(aji/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular