
Duh! Kali Ini Asing yang Obral Saham Bank BUKU IV
Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
04 October 2018 14:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang tak terkendali dalam sepekan terakhir menjadi pemicu investor asing keluar dari pasar saham. Padahal dalam dua pekan terakhir investor asing sempat melakukan akumulasi beli bersih (net buy) setelah ketegangan perang dagan reda.
Pada perdagangan awal sesi II, nilai akumulasi jual investor asing tercatat mencapai Rp 494,15 miliar. Padahal jika di-netting, dalam sepekan ini investor asing tercatat masih membukukan net buy senilai Rp 425,85 miliar.
Saham-saham berkapitalisasi besar jadi korban dan banyak dilepas investor asing, khususnya saham-saham bank BUKU IV. Saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) diobral asing senilai Rp 126,28 miliar dan harga saham BNI drop 3,79%.
Kemudian saham PT Bank Rakyat Indoensia Tbk (BBRI) dilepas asing senilai Rp 88,63 miliar dan harga saham turun 2,9%. Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dilego asing Rp 76,74 miliar dan membuat harga saham turun 2,69%.
Demikian pula dengan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turut dilepas asing dengan nilai mencapai Rp 51,33 miliar dan harga saham turun 0,73%.
Pertanyaannya kenapa investor asing melepas saham-saham Bank BUKU IV yang sebenarnya secara industri belum bermasalah. Taye Shim, Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia dalam riset yang dipublikasi 26 September lalu menyebutkan, hingga Juli 2018 pertumbuhan kredit bank mencapai 11,3% secara tahunan, level tertinggi sejak Februari 2015.
Segmen korporasi menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit. "Namun, kami pikir angka pertumbuhan yang kuat tidak menunjukkan optimisme perusahaan, tetapi mencerminkan aliran uang dan low base effect," kata Taye.
Pertumbuhan kredit tersebut dipicu oleh dua faktor. Pertama, kenaikan yield obligasi di mana telah meningkat sejak Januari dan terus menembus level 8% pada bulan Agustus.
"Kami berpendapat sebelumnya bahwa peningkatan imbal hasil obligasi dapat menyebabkan perusahaan untuk beralih kembali ke industri perbankan. Kami sekarang melihat pertumbuhan pinjaman korporasi sebagai bukti," tambah Taye.
Kedua, faktor lain yang menjelaskan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi adalah low base effect dari pelemahan pada bulan Juli 2017 . Untuk 2018, pertumbuhan kredit akan lebih baik daripada di 2017.
Segmen korporasi diperkirakan akan terus mendorong pertumbuhan kredit, sementara kredit rumah tangga dan UMKM akan berada pada level saat ini, dengan sedikit sentimen negatif.
(hps/wed) Next Article Ingin Jadi BUKU IV, BTPN Tak Bagi Dividen ke Pemegang Saham
Pada perdagangan awal sesi II, nilai akumulasi jual investor asing tercatat mencapai Rp 494,15 miliar. Padahal jika di-netting, dalam sepekan ini investor asing tercatat masih membukukan net buy senilai Rp 425,85 miliar.
Saham-saham berkapitalisasi besar jadi korban dan banyak dilepas investor asing, khususnya saham-saham bank BUKU IV. Saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) diobral asing senilai Rp 126,28 miliar dan harga saham BNI drop 3,79%.
Kemudian saham PT Bank Rakyat Indoensia Tbk (BBRI) dilepas asing senilai Rp 88,63 miliar dan harga saham turun 2,9%. Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dilego asing Rp 76,74 miliar dan membuat harga saham turun 2,69%.
Pertanyaannya kenapa investor asing melepas saham-saham Bank BUKU IV yang sebenarnya secara industri belum bermasalah. Taye Shim, Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia dalam riset yang dipublikasi 26 September lalu menyebutkan, hingga Juli 2018 pertumbuhan kredit bank mencapai 11,3% secara tahunan, level tertinggi sejak Februari 2015.
Segmen korporasi menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit. "Namun, kami pikir angka pertumbuhan yang kuat tidak menunjukkan optimisme perusahaan, tetapi mencerminkan aliran uang dan low base effect," kata Taye.
Pertumbuhan kredit tersebut dipicu oleh dua faktor. Pertama, kenaikan yield obligasi di mana telah meningkat sejak Januari dan terus menembus level 8% pada bulan Agustus.
"Kami berpendapat sebelumnya bahwa peningkatan imbal hasil obligasi dapat menyebabkan perusahaan untuk beralih kembali ke industri perbankan. Kami sekarang melihat pertumbuhan pinjaman korporasi sebagai bukti," tambah Taye.
Kedua, faktor lain yang menjelaskan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi adalah low base effect dari pelemahan pada bulan Juli 2017 . Untuk 2018, pertumbuhan kredit akan lebih baik daripada di 2017.
Segmen korporasi diperkirakan akan terus mendorong pertumbuhan kredit, sementara kredit rumah tangga dan UMKM akan berada pada level saat ini, dengan sedikit sentimen negatif.
(hps/wed) Next Article Ingin Jadi BUKU IV, BTPN Tak Bagi Dividen ke Pemegang Saham
Most Popular