Harga Minyak Tergelincir ke Zona Merah, Ada Apa?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
04 October 2018 11:24
Harga Minyak Tergelincir ke Zona Merah, Ada Apa?
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 turun 0,1% ke level US$86,2/barel hingga pukul 10.54 WIB, pada perdagangan hari Kamis (4/10/2018). Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak November 2018 terkoreksi 0,17% ke level US$76,28/barel.

Dengan pergerakan tersebut, harga minyak kini tergelincir ke zona merah, pasca kemarin menguat signifikan. Pada penutupan perdagangan hari Rabu (3/10/2018), harga brent dan light sweet kompak menguat di atas 1,5%.

Harga brent yang kemarin menembus level US$86,29/barel, serta harga light sweet yang mencapai US$76.41/barel, sama-sama mencetak rekor tertinggi baru sejak November 2014.



Kemarin, pergerakan harga brent sebenarnya sempat mengendur pasca Rusia dan Arab Saudi mencapai kesepakatan pribadi pada bulan September untuk meningkatkan produksi minyak, demi meredam kenaikan harga. Kedua negara menyampaikan hal itu pada AS sebelum pertemuan di Aljazair dengan produsen lainnya, kata empat sumber yang familiar dengan rencana tersebut.

BACA: Arab Saudi Dan Rusia Setuju Naikkan Produksi Minyak

Namun, penguatan harga minyak tak terhentikan setelah Iran menuduh Rusia dan Saudi telah melanggar kesepakatan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memangkas produksi, yang disepakati sejak 2017 lalu.

Tidak hanya itu, pihak Teheran juga menambahkan bahwa Rusia dan Saudi tidak akan mampu memproduksi cukup banyak minyak untuk menutupi jatuhnya ekspor minyak Iran.

"Jika Iran terkena sanksi , harga akan naik, dan Rusia dan Arab Saudi tidak dapat melakukan apapun untuk memasok minyak tambahan ke pasar," ujar Gubernur OPEC dari Iran Hossein Kazempour Ardebili, seperti dikutip dari Reuters.

Akibatnya, pelaku pasar kembali berekspektasi pasokan minyak global akan tetap seret. Pasalnya, pada puncaknya di 2018, Iran mengekspor 2,71 juta barel/hari, hampir 3% dari konsumsi harian minyak mentah global. Namun, mengutip data Refinitiv Eikon, ekspor Iran di September kini hanya tinggal 1,9 juta barel/hari, atau level terendahnya sejak pertengahan 2016.

Hal ini lantas mampu mengerek harga minyak lebih tinggi pada perdagangan kemarin.

(NEXT)
Meski demikian, pada hari ini, sejumlah sentimen negatif berdatangan. Akhirnya, harga minyak dipaksa untuk menginjak pedal rem. Pertama, cadangan minyak mentah Amerika Serikat (AS) naik nyaris 8 juta barel ke 404 juta barel pada pekan lalu, mengutip data US Energy Information Administration (EIA). Peningkatan itu merupakan yang tercepat sejak Maret 2017.

Sementara itu, produksi minyak mentah Negeri Paman Sam bertahan di level 11,1 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah.

Kedua, meski Iran sudah menyatakan bahwa Rusia dan Saudi tidak akan mampu menutupi hilangnya pasokan dari negaranya, pelaku pasar nampaknya tetap khawatir. Pasalnya, Rusia dan Arab Saudi merupakan 3 besar produsen terbesar di dunia.

Menteri Energi Saudi Khalid al-Falih menyatakan bahwa negaranya telah menaikkan produksi ke angka 10,7 juta barel/hari pada Oktober, dan bahkan akan memasok minyak lebih banyak pada November. Puncak produksi Negeri Padang Pasir ada di angka 10,72 juta barel/hari pada November 2016 lalu.

Kemudian, Rusia menghasilkan 11,36 juta barel/hari pada September, naik dari 11,21 juta barel/hari pada Agustus. Bahkan, ada kemungkinan kenaikannya akan lebih kencang. "Saya berharap produksi minyak Rusia akan berkisar sekitar 11,4 hingga 11,6 juta barel per hari sampai akhir 2018, dan dapat meningkat lebih lanjut menjadi 11,8 juta barel per hari pada 2019," kata sebuah sumber di sebuah perusahaan minyak besar Rusia.

Ketiga, lesunya permintaan juga dikhawatirkan terjadi karena dampak perang dagang AS vs China yang kini semakin nyata.

Pada hari Minggu (30/9/2018), indeks manufaktur PMI China bulan September 2018 diumumkan jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters sebesar 51,2.

Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat ke level 48 di bulan September, dari sebelumnya 49,4 di Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut.

Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China yang berkepanjangan telah mendinginkan perekonomian negara dengan ukuran ekonomi terbesar kedua di dunia ini.

Cepat atau lambat, efek ini akan menular ke negara-negara Asia lainnya, terutama ke mitra dagang utama Beijing seperti Korea Selatan dan Jepang. Perlambatan ekonomi dapat ditransmisikan menjadi menurunnya permintaan komoditas minyak global. Kombinasi ketiga faktor di atas lantas sukses membawa harga sang emas hitam “kembali ke bumi” pada hari ini, pasca terus terbang tinggi dalam beberapa waktu terakhir.

Meski demikian, sejauh ini pelemahannya masih terbatas. Hal ini mengindikasikan bahwa kekhawatiran akan dampak sanksi AS terhadap Iran masih menjadi perhatian utama pelaku pasar. Selama, belum ada kepastian sejauh mana pasokan dari Iran akan dapat dikompensasi oleh produsen lainnya, nampaknya harga minyak masih akan dalam tren menguat.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular