Mungkinkah Rupiah Menuju Titik Terlemah Sepanjang Sejarah RI?

Herdaru Purnomo & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 October 2018 09:48
Mungkinkah Rupiah Menuju Titik Terlemah Sepanjang Sejarah RI?
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kian lemah. Jika rupiah terus melemah, maka bukan tidak mungkin akan menyentuh titik terlemahnya sepanjang sejarah. 

Pada Kamis (4/10/2018) pukul 09:31 WIB, US$ 1 dihargai Rp 15.160 di pasar spot. Rupiah melemah 0,5% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Posisi rupiah ini menjadi yang terlemah sepanjang 2018. Lebih jauh lagi, rupiah juga terlemah sejak 8 Juli 1998 atau sekitar 20 tahun lalu. Kala itu, Indonesia tengah bergelut dengan krisis moneter (krismon). 

Mungkinkah Rupiah Menuju Titik Terlemah Sepanjang Sejarah RI?Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)


Pada 9 Juli 1998, rupiah berada di posisi terlemah sepanjang sejarah yaitu Rp 15.250/US$. Jika rupiah terus melanjutkan pelemahan, maka mungkin saja titik itu bisa kembali terulang atau bahkan terlampaui. Sesuatu yang tentu sangat tidak kita inginkan. Amit-amit.



Namun, risiko pelemahan rupiah masih sangat terbuka. Dari sisi eksternal, rupiah tertekan karena kebijakan moneter AS yang masih dalam mode pengetatan setidaknya sampai 2020. 

The Federal Reserve/The Fed pekan lalu menaikkan suku bunga acuan ke 2-2,25% atau median 2,125%. Ini bukan yang terakhir, karena pada akhir 2018 The Fed punya target suku bunga di median 2,4%. Artinya masih ada kenaikan satu kali lagi, yang sepertinya terjadi pada Desember. 

Menurut CME Fedwatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) pada rapat 19 Desember adalah 78,1%. Bahkan mulai ada kemungkinan The Fed menambah dosis kenaikan suku bunga menjadi 50 bps, meski peluangnya masih kecil di 3,7%. 

Kenaikan suku bunga acuan AS tidak berhenti tahun ini. Pada 2019 diperkirakan masih ada tiga kali kenaikan dan setidaknya sekali pada 2020. Dengan begitu, suku bunga acuan akan berada di median 3,4%. Setelah itu baru The Fed menurunkan secara gradual pada jangka menengah-panjang dengan target median 3%. 

Saat suku bunga acuan di AS naik, maka berinvestasi di Negeri Paman Sam menjadi lebih menarik karena menawarkan tambahan imbalan. Tidak hanya cuan, dolar AS juga menawarkan keamanan karena menyandang status sebagai safe haven. 

Apalagi tahun depan kemungkinan Bank Sentral Uni Eropa (ECB) akan mulai menaikkan suku bunga acuan. Akhir tahun ini ECB akan menyelesaikan kebijakan pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) dan melanjutkan dengan kenaikan suku bunga setidaknya pada musim panas (pertengahan tahun) 2019. 

Bank Sentral Jepang (BoJ) yang sekarang masih mempertahankan suku bunga negatif juga bisa saja mulai mengetatkan kebijakan moneter tahun depan. Sebab, perekonomian Jepang mulai menunjukkan titik terang di mana kepercayaan konsumen dan ekspansi dunia usaha perlahan pulih. 

Artinya, arus modal portofolio alias hot money masih akan tersedot ke AS dan negara-negara maju lainnya. Negara berkembang seperti Indonesia harus bersaing ketat dalam memperebutkan aliran modal asing dan itu sangat tidak mudah. Arus devisa dari pasar keuangan yang seret tentu bukan kabar baik buat rupiah. 

(NEXT)





Sementara dari dalam negeri, ada risiko besar bernama transaksi berjalan (current account) yang terus-menerus defisit, bahkan cukup dalam. Tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan defisit transaksi berjalan di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Saat devisa dari pasar keuangan sangat terbatas, transaksi berjalan adalah bantalan untuk menjaga kinerja mata uang.  Namun di Indonesia, bantalan ini sangat kempis. Akibatnya rupiah pun sulit menguat, bahkan cenderung semakin lemah.  Nasib transaksi berjalan semakin suram saat harga minyak dunia terus terkerek ke atas.

Pada pukul 09:28 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 85,98/barel. Ini merupakan titik tertinggi sejak 2014.  Indonesia adalah negara net importir migas. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, sepanjang Januari-Agustus 2018 Indonesia mencatatkan defisit perdagangan migas sebesar US$ 8,35 miliar. Jika harga minyak makin mahal, maka defisit ini bisa membengkak walaupun jumlah yang diimpor tidak berubah. 

Pembengkakan impor ini tentu akan menekan neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Bantalan penopang rupiah akan semakin kempis.  Transaksi berjalan menjadi kunci saat hot money seret.

Baht Thailand berhasil bertahan dengan menguat 0,7% terhadap dolar AS sejak awal tahun, karena ditopang oleh transaksi berjalan yang surplus.  Oleh karena itu, potensi pelemahan rupiah lebih lanjut masih sangat terbuka. Apabila penyakit di transaksi berjalan tidak segera teratasi, maka rupiah bukan tidak mungkin menyentuh titik terlemahnya sepanjang sejarah. 

Jika melihat nilai tukar rupiah melalui levelnya saat ini di Rp 15.000/US$ memang akan terlihat sama seperti tahun 1998 ketika Indonesia mengalami krisis moneter. Namun, kondisi tersebut secara fundamental jauh berbeda.

Depresiasi rupiah pada 1998, melebihi 600% lebih dalam waktu kurang dari satu tahun. Jika melihat kondisi saat ini di 2018, depresiasi belum sampai 10%.

Sementara jika melihat kondisi fundamental Indonesia pada tahun ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati di mana BI juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar. Selain itu, pertumbuhan ekonomi masih positif, inflasi masuk rekor terendahnya dan pengelolaan ekonomi dalam negeri masih cukup prudent. 

Tak perlu khawatir memandang nilai tukar rupiah saat ini. Jangan melihat lebih jauh dari levelnya. Tapi dari tingkat depresiasinya yang notabene banyak negara lain yang tingkat depresiasinya jauh lebih parah. Saat ini sudah saatnya, ekspor ditingkatkan demi menambah pundi-pundi devisa negara. 


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular