
Rupiah Terpuruk ke Rp 15.000/US$, Hati-Hati Kinerja Perbankan
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
03 October 2018 20:48

Di tahun 2015, pelemahan rupiah hampir mirip dengan kondisi saat ini. Rupiah menembus level Rp 14.695/US$ atau tertinggi setelah krisis moneter di 1998. Faktor yang mempengaruhi saat itu diantaranya kebijakan bank sentral China, The People’s Bank of China (PBoC) yang sengaja melemahkan Yuan.
Sebagai salah satu negara emerging market, pelemahan yang dilakukan berdampak kepada depresiasi mata uang negara-negara lain termasuk Indonesia. Lantas bagaimana kondisi capital adequaty ratio (CAR) dan non performing loan (NPL) saat itu?
Jika kita merujuk waktu terjadinya depresiasi tertinggi rupiah di 2015 yaitu bulan September, kondisi CAR membaik.
Senada dengan CAR, tingkat NPL pada periode ini juga bergerak turun
Mengapa hal ini bisa terjadi? Usut punya usut, Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menerbitkan peraturan nomor 11 tentang ketentuan kehati-hatian dalam rangka stimulus perekonomian nasional bagi bank umum. Dalam aturan tersebut, salah satunya mengatur tentang restrukturisasi kredit.
Dalam pasal 9 dijelaskan kualitas kredit yang dapat direstrukturisasi paling tinggi adalah kurang lancar (kolektabilitas 3), dari sebelumnya diragukan atau macet (kolektabilitas 4 dan 5). Kondisi ini tentu membantu perbankan untuk melakukan mitigasi risiko pembiayaan, sehingga mampu menekan kredit macet. Dampaknya, tingkat NPL perbankan saat rupiah melemah masih aman bahkan cenderung turun.
Dalam pasal 9 dijelaskan kualitas kredit yang dapat direstrukturisasi paling tinggi adalah kurang lancar (kolektabilitas 3), dari sebelumnya diragukan atau macet (kolektabilitas 4 dan 5). Kondisi ini tentu membantu perbankan untuk melakukan mitigasi risiko pembiayaan, sehingga mampu menekan kredit macet. Dampaknya, tingkat NPL perbankan saat rupiah melemah masih aman bahkan cenderung turun.
Sementara dari sisi kecukupan modal, kenaikannya CAR karena bank mencatatkan seluruh laba sebagai laba ditahan dan belum membagi laba kepada pemegang saham lewat dividen. Akibatnya tentu mendorong modal perbankan naik sehingga rasio CAR bertambah.
Kondisi ini tentu berdampak penilaian beberapa pihak, jika pelemahan yang ada tidak berdampak kepada sektor perbankan. Namun tunggu dulu, mari kita lihat kualitas kredit mulai dari kolektabilitas 1 (lancar) hingga kolektabilitas 5 (macet).
Bulan | Lancar | Dalam Perhatian Khusus | Kurang Lancar | Diragukan | Macet | |
Agustus 2015 | 3.520.135 | 21.9048 | 21.205 | 18.541 | 67.000 | |
September 2015 | 3.583.515 | 22.8425 | 21.645 | 18.413 | 66.883 | |
Oktober 2015 | 3.552.671 | 23.0138 | 20.867 | 16.702 | 67.137 | |
November 2015 | 3.574.756 | 23.3376 | 19.163 | 15.236 | 70.303 | |
Desember 2015 | 3.715.373 | 19.5983 | 19.320 | 13.123 | 67.912 |
Di sisa tahun berjalan khususnya Oktober dan November, jumlah kredit lancar mengalami penurunan. Sementara itu, kolektabilitas 2 (dalam perhatian khusus) justru bergerak naik. Hal juga terjadi pada kolektabilitas 5 (macet) yang ikut naik.
Jika kita lihat jumlah pembiayaan macet yang meningkat, artinya pelemahan rupiah memiliki dampak serius. Mengapa ini bisa terjadi? Rupanya, pembiayaan perbankan umum saat itu paling besar dialokasikan kepada sektor perdagangan besar dan kecil.
Pembiayaan Bank | Perdagangan Besar dan Kecil | Industri pengolahan | Sektor Pertanian |
Agustus 2015 | 761824 | 717578 | 231390 |
September 2015 | 775716 | 744090 | 238059 |
Oktober 2015 | 765828 | 724765 | 237659 |
November 2015 | 768904 | 726664 | 239322 |
Desember 2015 | 792503 | 760048 | 254954 |
Sektor ini paling rentan sebab membutuhkan bahan baku yang dipenuhi dari impor. Ketika rupiah melemah, tentu akan meningkatkan biaya operasional perusahaan. Akibatnya bisa mempengaruhi kemampuan perusahaan jika memiliki kewajiban terhadap perbankan.
NPL Bank | Perdagangan Besar dan Kecil | Industri pengolahan | Sektor Pertanian |
Agustus 2015 | 31277 | 18897 | 4751 |
September 2015 | 31984 | 19517 | 4827 |
Oktober 2015 | 30903 | 18777 | 4935 |
November 2015 | 29483 | 18425 | 5220 |
Desember 2015 | 27948 | 18977 | 4853 |
Terlihat, sektor tersebut memiliki NPL terbesar diikuti sektor industri pengolahan. Bahkan jumlah NPL kedua sektor tersebut jauh mengungguli sektor lain seperti pertanian hingga real estate.
Kondisi ini tentu bisa jadi gambaran jika perbankan sebenarnya menghadapi risiko besar dari depresiasi rupiah. Tingkat NPL yang tidak meningkat seiring pertolongan yang diberikan OJK terkait restrukturisasi kredit. Saat ini peraturan tersebut sudah dicabut, lalu bagaimana dampak bagi perbankan saat ini?
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular