Rupiah Terus Lesu, Obatnya Bukan Menaikkan Bunga
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 October 2018 10:23

Alan Greenspan, mantan Gubernur The Federal Reserve/The Fed, pernah berujar tidak semua masalah bisa diselesaikan melalui kebijakan moneter. Sepertinya petuah Greenspan masih relevan sampai sekarang.
Rupiah memang melemah karena dolar AS cenderung perkasa terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Namun dengan kasus baht yang bisa selamat, ada pelajaran yang bisa dipetik.
Saat arus modal portofolio di sektor keuangan alias hot money sulit diandalkan untuk mengeruk devisa, maka sebuah negara harus kembali ke kekuatan domestiknya yaitu ekspor-impor barang dan jasa (transaksi berjalan/current account). Ini adalah kelemahan utama dan struktural di Indonesia, karena transaksi berjalan tidak pernah surplus sejak kuartal IV-2011.
Ini masalah utamanya. Indonesia kekurangan devisa untuk dijadikan pijakan bagi rupiah. Di bidang perdagangan, malah lebih banyak devisa yang 'terbang' ke luar negeri dibandingkan yang masuk.
Penyebabnya adalah ekspor Indonesia yang masih terlalu bergantung kepada komoditas, hanya mengandalkan keunggulan komparatif. Akibatnya, ekspor Indonesia sangat tergantung pada harga komoditas global.
Saat harga komoditas seperti CPO dan batubara kinclong, ekspor Indonesia pun melonjak seperti yang terjadi pada 2006, 2011, atau 2017. Pada momentum-momentum itu, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus yang mengesankan karena ekspor jauh melebihi impor.
Namun saat harga komoditas nyungsep, seperti tahun ini, ekspor ikut tiarap dan neraca perdagangan pun negatif. Pada Januari-Agustus 2018, neraca perdagangan membukuka defisit US$ 4,09 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya masih surplus cukup besar yaitu US$ 9,07 miliar.
Oleh karena itu, Indonesia perlu memperbaiki struktur ekspor dengan mengutamakan barang jadi atau setengah jadi. Produk industri manufaktur. Jadi kuncinya adalah menggiatkan kembali industrialisasi agar ekspor lebih berkualitas tanpa bergantung komoditas.
Saat ekonomi Indonesia terakselerasi, kecenderungan peningkatan impor juga terjadi. Seperti tahun ini. Pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan lebih baik dibandingkan 2017 yang 'hanya' 5,07%. Ini membuat impor melonjak.
Saat ekspor tidak bisa berbuat banyak karena harga komoditas turun, hasilnya jelas. Neraca perdagangan defisit cukup dalam.
Agar arus barang impor tidak deras saat ekonomi domestik pulih, lagi-lagi kuncinya adalah industrialisasi. Pembangunan industri substitusi impor sangat penting untuk menjaga arus devisa tidak mudah meninggalkan Indonesia.
(aji/wed)
Rupiah memang melemah karena dolar AS cenderung perkasa terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Namun dengan kasus baht yang bisa selamat, ada pelajaran yang bisa dipetik.
Saat arus modal portofolio di sektor keuangan alias hot money sulit diandalkan untuk mengeruk devisa, maka sebuah negara harus kembali ke kekuatan domestiknya yaitu ekspor-impor barang dan jasa (transaksi berjalan/current account). Ini adalah kelemahan utama dan struktural di Indonesia, karena transaksi berjalan tidak pernah surplus sejak kuartal IV-2011.
Ini masalah utamanya. Indonesia kekurangan devisa untuk dijadikan pijakan bagi rupiah. Di bidang perdagangan, malah lebih banyak devisa yang 'terbang' ke luar negeri dibandingkan yang masuk.
Penyebabnya adalah ekspor Indonesia yang masih terlalu bergantung kepada komoditas, hanya mengandalkan keunggulan komparatif. Akibatnya, ekspor Indonesia sangat tergantung pada harga komoditas global.
Saat harga komoditas seperti CPO dan batubara kinclong, ekspor Indonesia pun melonjak seperti yang terjadi pada 2006, 2011, atau 2017. Pada momentum-momentum itu, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus yang mengesankan karena ekspor jauh melebihi impor.
Namun saat harga komoditas nyungsep, seperti tahun ini, ekspor ikut tiarap dan neraca perdagangan pun negatif. Pada Januari-Agustus 2018, neraca perdagangan membukuka defisit US$ 4,09 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya masih surplus cukup besar yaitu US$ 9,07 miliar.
Oleh karena itu, Indonesia perlu memperbaiki struktur ekspor dengan mengutamakan barang jadi atau setengah jadi. Produk industri manufaktur. Jadi kuncinya adalah menggiatkan kembali industrialisasi agar ekspor lebih berkualitas tanpa bergantung komoditas.
Saat ekonomi Indonesia terakselerasi, kecenderungan peningkatan impor juga terjadi. Seperti tahun ini. Pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan lebih baik dibandingkan 2017 yang 'hanya' 5,07%. Ini membuat impor melonjak.
Saat ekspor tidak bisa berbuat banyak karena harga komoditas turun, hasilnya jelas. Neraca perdagangan defisit cukup dalam.
Agar arus barang impor tidak deras saat ekonomi domestik pulih, lagi-lagi kuncinya adalah industrialisasi. Pembangunan industri substitusi impor sangat penting untuk menjaga arus devisa tidak mudah meninggalkan Indonesia.
(aji/wed)
Next Page
Thailand Punya Kekuatan
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular