Rupiah Terus Lesu, Obatnya Bukan Menaikkan Bunga

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 October 2018 10:23
Rupiah Terus Lesu, Obatnya Bukan Menaikkan Bunga
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Obat kuat dari Bank Indonesia (BI) berupa kenaikan suku bunga acuan belum mampu membuat rupiah kembali bergairah. 

Pada Rabu (3/10/2018) pukul 09:06 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 15.085 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,3% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 9% di hadapan greenback. Sementara selama setahun terakhir, depresiasi rupiah mencapai 11,41%. 

BI selaku penjaga rupiah bukannya abai. Berbagai jurus sudah dikeluarkan, bahkan sampai ajian pamungkas yaitu menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sampai 150 basis poin (bps) sejak awal tahun. 

Dengan kenaikan suku bunga acuan, diharapkan pasar keuangan Indonesia menjadi lebih menarik. Sebab, kenaikan suku bunga acuan akan ikut meningkatkan imbalan investasi, utamanya di instrumen berpendapatan tetap. 

Langkah itu cukup berhasil, setidaknya menjaga agar modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) tidak keluar. Sejak awal tahun hingga 28 September, bahkan investor asing mencatatkan beli bersih Rp 13,82 triliun.  

Namun itu belum cukup untuk membuat rupiah menguat, atau minimal pelemahannya tidak terlalu dalam. Sebab secara umum investor masih enggan menanamkan modal di pasar keuangan Tanah Air. 

Di sisi lain, efek samping dari kenaikan suku bunga acuan mulai terasa. Suku bunga deposito di perbankan bergerak naik, diiringi kenaikan suku bunga kredit. Ini sedikit banyak mempengaruhi optimisme konsumen, terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen yang melambat. 


Bila berkaca kepada negara tetangga yaitu Thailand, sebenarnya kenaikan suku bunga acuan adalah langkah terakhir untuk menyelamatkan mata uang. Bank Sentral Thailand (BoT) bahkan menahan suku bunga acuan di 1,5% sejak November 2011, tetapi baht mampu menguat 0,9% terhadap dolar AS sejak awal tahun. 

Jadi, apa rahasianya?
Alan Greenspan, mantan Gubernur The Federal Reserve/The Fed, pernah berujar tidak semua masalah bisa diselesaikan melalui kebijakan moneter. Sepertinya petuah Greenspan masih relevan sampai sekarang. 

Rupiah memang melemah karena dolar AS cenderung perkasa terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Namun dengan kasus baht yang bisa selamat, ada pelajaran yang bisa dipetik. 

Saat arus modal portofolio di sektor keuangan alias hot money sulit diandalkan untuk mengeruk devisa, maka sebuah negara harus kembali ke kekuatan domestiknya yaitu ekspor-impor barang dan jasa (transaksi berjalan/current account). Ini adalah kelemahan utama dan struktural di Indonesia, karena transaksi berjalan tidak pernah surplus sejak kuartal IV-2011. 

 

Ini masalah utamanya. Indonesia kekurangan devisa untuk dijadikan pijakan bagi rupiah. Di bidang perdagangan, malah lebih banyak devisa yang 'terbang' ke luar negeri dibandingkan yang masuk. 

Penyebabnya adalah ekspor Indonesia yang masih terlalu bergantung kepada komoditas, hanya mengandalkan keunggulan komparatif. Akibatnya, ekspor Indonesia sangat tergantung pada harga komoditas global. 

Saat harga komoditas seperti CPO dan batubara kinclong, ekspor Indonesia pun melonjak seperti yang terjadi pada 2006, 2011, atau 2017. Pada momentum-momentum itu, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus yang mengesankan karena ekspor jauh melebihi impor. 

Namun saat harga komoditas nyungsep, seperti tahun ini, ekspor ikut tiarap dan neraca perdagangan pun negatif. Pada Januari-Agustus 2018, neraca perdagangan membukuka defisit US$ 4,09 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya masih surplus cukup besar yaitu US$ 9,07 miliar. 

 

Oleh karena itu, Indonesia perlu memperbaiki struktur ekspor dengan mengutamakan barang jadi atau setengah jadi. Produk industri manufaktur. Jadi kuncinya adalah menggiatkan kembali industrialisasi agar ekspor lebih berkualitas tanpa bergantung komoditas. 

Saat ekonomi Indonesia terakselerasi, kecenderungan peningkatan impor juga terjadi. Seperti tahun ini. Pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan lebih baik dibandingkan 2017 yang 'hanya' 5,07%. Ini membuat impor melonjak.

Saat ekspor tidak bisa berbuat banyak karena harga komoditas turun, hasilnya jelas. Neraca perdagangan defisit cukup dalam. 

Agar arus barang impor tidak deras saat ekonomi domestik pulih, lagi-lagi kuncinya adalah industrialisasi. Pembangunan industri substitusi impor sangat penting untuk menjaga arus devisa tidak mudah meninggalkan Indonesia. 


Kekurangan-kekurangan Indonesia itu tidak dimiliki oleh Thailand. Sejak 2014, Thailand belum mengalami defisit transaksi berjalan. 

 

Neraca perdagangan Thailand pada Januari-Agustus juga masih mencatat surplus US$ 2,35 miliar. Sejak 2013, Thailand tidak pernah mengalami defisit neraca perdagangan secara tahunan. 

 

Kita mungkin mengenal Thailand sebagai produsen komoditas seperti beras atau buah-buahan. Namun ternyata bukan itu yang menjadi andalan ekspor Negeri Gajah Putih. Produk andalan ekspor Thailand adalah mesin, karena negara ini memang berstatus sebagai hub otomotif Asia Tenggara. 

 

Dengan transaksi berjalan yang solid, Thailand tidak perlu terlalu cemas saat dolar AS mengamuk. Walau aliran hot money seret, tetapi masih ada devisa dari sektor perdagangan yang membuat baht mampu berbicara banyak di hadapan dolar AS. 

BoT pun merasa belum perlu menaikkan suku bunga acuan, karena baht bisa menolong dirinya sendiri. Tidak perlu diselamatkan. Boleh saja investor mengatakan pasar keuangan Thailand kurang atraktif, tetapi sektor riil mereka sangat bisa diandalkan. 

Moral dari tulisan ini adalah suku bunga acuan sejatinya hanya seperti obat luka luar. Dia tidak menyembuhkan penyakit dalam yang lebih serius, dia bukan obat bagi segala masalah. 

Andai saja industri Indonesia sekuat Thailand, mungkin BI tidak perlu agresif menaikkan suku bunga acuan. Sesuatu yang menimbulkan efek samping berupa potensi perlambatan ekonomi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular